Oleh: IMMawan Albi Almahdy, Ketua Korps Mubaligh PC IMM Kota Surakarta
Fenomena arak arakan DPP IMM mengantarkan diaspora mantan ketua umum DPP IMM Abdul Musawir Yahya ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI) kemarin, memang menimbulkan pro dan kontra di berbagai lini, mulai dari viralnya video arak arakan sekelompok kader yang dengan bangganya membawa bawa atribut IMM, belum lagi berbagai kritik menghujat di kolom komentar media sosial DPP IMM, yang mencitrakan minimnya moralitas (etika bahasa yg tidak sopan) dan intelektualitas (argumentasi yang tidak ilmiah) kader IMM per hari ini, sampai dengan polemik perdebatan yang terjadi di lingkup kader kader komisariat.
Pun, kita menolak lupa pada keberpihakan Abdul Musawir yang tergabung atas nama Angkatan Muda Muhammadiyah pada tim sukses salah satu paslon di pemilu 2024 kemarin, mengingat beliau adalah ketua umum DPP IMM saat itu, yang berarti juga pimpinan tertinggi. Terlepas dari benar atau salah, hal ini kemudian menjadi pemicu kericuhan atas aksi lempar kursi yang mewarnai Muktamar IMM di Palembang beberapa bulan yang lalu. Lantas, dimana letak ketercapaian “anggun dalam moral” yang merupakan interpretasi dari tujuan IMM yang bisa kita rasakan hari ini?
Kalau melihat dengan kacamata fenomenologi, tentu fenomena fenomena ini memiliki banyak tafsiran makna, memang benar bahwa tidak setiap yang tampak memiliki interpretasi sebagaimana adanya, kesadaran atas hasil penginderaan seseorang pada sebuah fenomena tentu berbeda beda. Dalam konteks ini, ada yang mengklarifikasi fenomena arak arakan diaspora Abdul Musawir ke PSI sebagai bentuk Ijtihad politik IMM, sebagaimana tulisan IMMawan Ari Harahap (Kabid Hikmah DPP IMM) yang kemudian dibantah oleh IMMawan Izzul Khaq (Ketua Umum PC IMM Sukoharjo) sebagai bentuk Ijtihad yang ugal ugalan nan dipaksakan.
Wajar saja bila kader IMM memiliki mimpi besar serta gagasan yang ideal untuk diperjuangkan di dalam ruang ruang kekuasaan, tentunya harus kita pandang sebagai ikhtiar menyelamatkan umat dan bangsa, terutama pada persoalan kaum marginal dan kaum mustadh’afin. Usaha mendekatkan diri dengan kekuasaan bukanlah hal yang pantas diledek, apalagi dimusuhi. Namun, melihat realita yang terjadi, proses dan cara cara yang digunakan DPP IMM justru semakin menguatkan kecurigaan kader kader IMM atas niat dan orientasi yang bertentangan dan terkesan mengedepankan nafsu pragmatis untuk kepentingan sendiri.
Sebagaimana IMMawan Untung Prasetyo Ilham selaku Ketum DPD IMM Jateng berkomentar mengenai diaspora alumni IMM ke dalam dunia politik merupakan hal yang positif dan patut didukung sebagai amanah hasil tanwir Banjarmasin, tetapi dengan catatan bahwa membawa atribut IMM ke ranah parpol adalah kekeliruan dan penyempitan makna terhadap hasil Tanwir tersebut. Di sisi yang kontra, dalam tulisan “Wajah Baru dalam Wacana Politik DPP IMM” oleh IMMawan Tegar Lesmana. DPP IMM justru dinilai telah menggadaikan diri pada penguasa, DPP IMM per hari ini sarat dengan kepentingan individunya dan menjadikan IMM sebagai batu loncatan untuk dilirik oleh penguasa. Orientasi DPP IMM tidak lagi menggambarkan High Politics yang diprinsipkan oleh Muhammadiyah, justru secara terang dan jelas terlihat kearah pragmatisme yang membabi buta. Meskipun agaknya, pernyataan ini sedikit berlebihan menurut saya.
Kalau boleh melirik lebih jauh lagi, belum lama ini juga terdapat tulisan berjudul “Mabuk Ijtihad Politik” di Platform SuaraMuhammadiyah.id. Tulisan ini juga sama tajamnya menggugat Ijtihad Politik DPP IMM, namun baru baru ini sudah di take down. Saya tidak tahu apakah ini merupakan bentuk tindakan represif atas kebebasan berpendapat kader ikatan oleh DPP IMM atau hanya sebatas perilaku oknum yang terganggu kepentingannya. Selain itu juga muncul isu-isu penggerudukan oleh Ketum DPP IMM terhadap tulisan “Analisis Sosiologis Respon Netizen atas Arak-arakan DPP IMM Suwon Kaesang” oleh IMMawan Samsul Hadi (Ketua Asrama Putra IMM Ciputat). Terlepas apakah sang provokator yang memviralkan isu ini dengan sengaja mengkambinghitamkan DPP IMM yang sekarang atau memang benar demikian adanya isu tersebut. Lantas masih pantaskah IMM mengaku sebagai gerakan dakwah? Kalaulah demikian proses dan cara cara yang dilazimkan kader kader intelektual Muhammadiyah yang tidak berbeda kotornya sebagaimana cara cara yang kita amati di dalam budaya politik praktis; penyerangan, provokasi, anti kritik, adu domba, pembunuhan karakter, dan lain lain.
Perlu Adanya Kesatuan Paradigma
Dari pembacaan saya terhadap semua itu, muncul pertanyaan mulai dari sudut pandang yang paling skeptis, mengafirmasi dari tulisan kanda Achmad Mahbuby (Sekum PC IMM Surakarta), Akankah fenomena-fenomena semacam ini terus dinormalisasi dalam tubuh IMM? Mengingat IMM tidak hanya sebagai organisasi Muhammadiyah, namun sebagai organisasi pergerakan yang memiliki peran menjadi intelektual organik. Sampai dengan wacana yang paling optimis, meminjam istilah yang digunakan oleh kanda Izzul Khaq, bahwa memang harus ada titik temu (kalimatunsawa’) untuk meredam dan menyelesaikan permasalahan permasalahan tersebut. Pada akhirnya, tujuan yang ingin dicapai adalah kesepahaman bersama dengan proses dialog hikmah yang mengedepankan sikap saling menghargai perbedaan, inilah yang sejalan dengan spirit QS. An Nahl: 125.
Perlu dikaji ulang bagaimana sejarah dirumuskannya Kepribadian Muhammadiyah di tahun 1962. Pada masa itu, setelah dibubarkannya Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) pada tahun 1960, banyak tokoh dari persyarikatan mengabdikan diri kembali ke Muhammadiyah, salah satunya KH. Fakih Usman. Namun, celakanya, terjadi perubahan nada dan irama serta pola dan cara perjuangan dakwah Muhammadiyah sebab cara cara politik yang mencemari di Muhammadiyah, juga masih melekat kuat pada pengurusnya. Hal ini semakin jelas terlihat ketika terjadi perhelatan kontestasi antar pengurus di forum forum seperti musyawarah daerah, wilayah, sampai di tataran nasional pada muktamar Muhammadiyah. Atas keresahan itulah KH. Fakih Usman merumuskan pengkajian ciri khas dan sifat khusus Muhammadiyah sebagai ikhtiar menetralkan kembali jalan perjuangan dakwah Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dan gerakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar. Ini menjadi penegasan bahwa tradisi organisasi, tujuan, serta strategi perjuangan persyarikatan memang berbeda dengan partai politik, tidak terkecuali masyumi atau bahkan PSI.
Dalam meluaskan ruang lingkup pergerakan di IMM, perlu adanya paradigma dalam mengambil ijtihad, bukan hanya sebatas tafsiran dangkal atas pemahaman subjektif yang berijtihad, tetapi atas landasan kepentingan dan pemahaman bersama yang bersifat intersubjektif yang mendamaikan, syukur syukur jika bisa mengarah ke objektif. Memang benar, keragaman cara pandang merupakan keniscayaan. Setiap orang dengan cara pandangnya memiliki dimensi kebenaran dan pembenarannya masing-masing. Perlu diafirmasi, dalam hal ini paradigma yang kita bangun adalah paradigma dakwah IMM, yakni cara pandang yang menyatukan kesepahaman. Dalam konteks ini pula, bukan berarti dakwah dipahami sebatas hanya pada yang simbolis, tetapi lebih bersifat esensialis (nilai) dan esoteris (rasa). Dakwah dengan pengertian dan pemahaman untuk merumuskan suatu ijtihad secara kolektif dan persuasif, bersifat merangkul bukan memukul, mengajak bukan mengejek, menasihati bukan membenci, ramah bukan marah, dan cinta bukan dusta. Dalam realisasinya, menggunakan pendekatan hikmah atau dalam bahasa kita berarti ilmiah, yakni berbudaya rasional, bermental argumentatif, berorientasi adil serta korektif ke dalam maupun keluar dengan bijaksana.
Secara realistis, dalam pergerakan sah-sah saja kita berinovasi, namun jangan abaikan prinsip-prinsip yang ideal pada proses dan hasil perkaderan yang murni. Perkaderan IMM harus dimaksudkan pada orientasi ideologis, bukan pragmatis, apalagi politik praktis. Misalnya, salah satu spirit pada poin 4 kepribadian Muhammadiyah bahwa Muhammadiyah bersifat keagamaan dan kemasyarakatan. Maka gerakan IMM hari ini pun harus berorientasi langsung kepada masyarakat, terutama kaum marginal dan mustadh’afin. Asumsi saya, kader ikatan hari ini terlalu fokus berorientasi pada memperbaiki kekuasaan dari dalam, namun lupa tanggungjawabnya diluar itu, barangkali sesederhana mengajar TPA di masjid kampung sekitarnya atau blusukan ke pasar pasar tradisional. Sialnya, menyoal isu kenaikan UKT oleh Kemendikbud kemarin pun, eksistensi IMM tidak hadir dalam proses menyuarakan penolakan dan pembelaan terhadap mahasiswa yang terdampak.
Syahdan, kalaupun jalur perjuangannya memang harus diupayakan melalui kekuasaan, paling tidak ada proses dialog dan komunikasi yang transparan dan jelas kebawah, sebab jika tidak, yang terjadi adalah IMM dicap sebagai organisasi elitis dengan gagasan dan wacana melangit yang masyarakat tidak paham dengan ikhtiar ikhtiar itu. Dalam konteks ini, masyarakat yang dimaksud juga termasuk masyarakat intelektual, khususnya kader kader IMM di akar rumput. Demikianlah spirit Fastabiqul Khoirot yang komprehensif. Seharusnya IMM menjadi patron yang teladan sebagai organisasi pergerakan mahasiswa Islam, moderat dalam pengertian tidak sama dengan organisasi pergerakan mahasiswa lainnya, paradigma di IMM adalah gerakan dakwah, tidak berorientasi politik tapi juga tidak mati di masyarakat.
Abadi perjuangan!