Peradaban manusia selalu dinakhodai oleh ide-ide brilian yang lahir dari pemikir-pemikir besar. Gagasan gagasan itulah yang menjadi rel bagi kereta peradaban umat manusia. Tanpa gagasan, peradaban akan berjalan tidak tentu arah. Sebuah bangsa, jika tidak ditopang oleh filosofi yang matang, seketika akan ambruk. Harus ada sebuah basis filosofi yang menjadi pegangan utama sebuah bangsa dalam mengarungi samudra peradaban. Dan, basis filosofi itu lahir dari hasil kerja pikiran para intelektual. Maka, bagi Bung Karno rumusnya sangat sederhana: jangan pernah abaikan dan remehkan kerja-kerja pikiran. Islam sebagai agama, menyediakan perangkat istimewa bagi proses kerja pikiran, yaitu ijtihad.
Setiap lini zaman dan generasi punya tantangannya masing-masing untuk dihadapi dengan tegap dan lantang menaggapinya dengan Ijtihad. Sistem, metode, kerja, program, kebijakan selalu dinamis yang harus selalu diperbaharui untuk dapat survive disegala arus perubahan yang terjadi. Presiden pertama Indonesia yang sekaligus kader Muhammadiyah telah mendorong kita untuk menjadi pelopor dan bukan pengekor. Penyegaran Ijtihad dalam memperbaharui gerakan ditengah post-pandemi tak terelakkan kembali dengan semangat islam yang sesuai slogan Qur’an shalih likulli zamani wa makan.
Ghirah akan sejarah menjadi batu pijakan untuk mengambil hikmah betapa pentingnya dialog dengan zaman untuk penyegaran ijtihad guna menyongsong kemajuan diera disrupsi hari ini. Kecanggihan teknologi, digitalisasi yang bermata pisau ganda menjadi potensi dan tantangan yang besar.
Dalam konteks gerakan, tradisi tajdid (refresh) yang menjadi watak para penggeraknya bakal membuat gerakan organisasi menjadi dinamis. Sebab, di dalamnya ada konsekuensi untuk terus memperbarui diri secara kritis sesuai perkembangan zaman. Hal ini pulalah yang terjadi dalam Muhammadiyah. “Muhammadiyah mampu bertahan dan berkembang melewati satu abad antara lain karena memiliki inner dynamics, yakni kekuasaan dari dalam yang melekat dengan dirinya,” kata Prof Haedar Nashir dalam bukunya, Dinamisasi Gerakan Muhammadiyah.
Inner dynamics tersebut, menurut Prof Haedar, yaitu ruh dan nilai-nilai ajaran Islam, keyakinan dan militansi, serta prinsip dan pemikiran ideologi yang kokoh. Dengan watak dasar itu Muhammadiyah sebagai gerakan mampu mengaktualisasi nilai-nilai dan menjaga orientasinya agar ‘tahan uji’ dalam berbagai tantangan dan situasi zaman.
Jika Muhammadiyah sebagai organisasi induk gerakan IMM (dan ortom lainnya) saja mesti demikian untuk bisa tetap eksis menjawab tantangan zaman, mengapa IMM tidak berpikir demikian? Sebagai anak intelektual Muhammadiyah, sudah seyogianya IMM mengembangkan ide-ide untuk mendinamisasi gerakannya. Pikiran-pikiran inilah yang membuat saya merasa IMM perlu membuat agenda dinamisasi gerakan.
Dalam teori perubahan, sebuah agenda gerakan (pergerakan) selalu memiliki makna untuk mengubah atau menciptakan perubahan. Gerakan itu sendiri secara sederhana bisa kita makna sebagai upaya untuk membuat suatu perubahan. Dalam konteks sosial, misalnya, sebuah gerakan sosial pasti menuntut adanya perubahan baik secara bertahap maupun revolusioner (secara kontan).
Gerakan IMM yang kita kenal sebagai gerakan intelektual dan gerakan dakwah-sosial pun memiliki tujuan atau cita-cita perubahan. Yakni dalam mengubah tatanan kehidupan menjadi lebih baik. Namun, yang menjadi soal kemudian adalah apakah keinginan menciptakan perubahan itu bisa menemui titik temu antara idelitas cita-cita dan kebutuhan zaman? Bagaimana IMM mampu beradaptasi dengan kondisi dan tantangan zaman?
IMM sebagai gerakan mahasiswa sudah seyogianya mampu menciptakan kebaruan-kebaruan baik dalam hal pemikiran maupun gerakan. Dalam beberapa studi tentang kaum muda disebutkan bahwa pemuda memiliki kreativitas, daya imajinasi, dan literasi teknologi yang membuatnya mampu menciptakan sesuatu yang baru. Inilah yang menjadi catatan bagi IMM di era milenial ini, tentang bagaimana menghadapi generasi milenial (serta generasi Z dan alpha) untuk tetap eksis.
Zakkiyuddin Baidhawy menyebutkan, “Aktivis IMM harus pandai-pandai memahami bagaimana karakteristik generasi milenial, agar ikhtiar intelektual dan kepemimpinan kreatif IMM tetap bergerak selaras dengan semangat zaman.” (Pijar Matahari Mudah dan Percik Tinta Merah). Di sinilah kreativitas dalam gerakan itu diperlukan. Meski begitu, kreatif tak berarti tercerabut dari akar dan falsafah gerakan.
Perlu diingat pesan Prof Haedar dalam sambutan Tanwir IMM beberapa waktu silam. Bahwa penguatan identitas gerakan menjadi penting dilakukan agar gerakan IMM tidak tercerabut dari nilai-nilai dan ideologi gerakannya. “Muhammadiyah tumbuh dan berkembang karena kekokohan ideologi gerakannya,” kata Prof Haedar dalam buku Muhammadiyah Abad Kedua.
Penguatan ideologi itulah yang menjadi agenda penting dalam setiap forum perkaderan IMM. Terkadang, ini juga perlu dilakukan sebagai upaya purifikasi nilai-nilai gerakan IMM yang dalam praktiknya kerap bercampur-aduk dengan berbagai pemikiran, paham, dan ideologi lain. Selain upaya purifikasi gerakan itu, IMM juga perlu melakukan dinamisasi alias pembaruan dalam gerakannya.
Di era digital ini IMM bisa melakukan penguatan literasi kadernya. Selain menguatkan pemikiran kader dengan berbagai wacana keilmuan. IMM juga mesti menjawab kebutuhan zaman atas pentingnya literasi digital dan teknologi. Memang di sana memiliki risiko terjadinya disrupsi gerakan, yang menganggap gerakan lewat media-media seperti medsos saja sudah cukup tanpa adanya aksi (karya) nyata. Kerentanan yang dalam perspektif post-modern dianggap sebagai gerakan semu itu bisa diantisipasi dengan mencoba mengolaborasikan keduanya: yang penulis sebut sebagai aktivisme hibrida.
Dalam lingkup IMM Sukoharjo terdapat beberapa persoalan serius yang harus di jawab dengan serius pula yaitu kaitannya antara IMM dengan tradisi keilmuan, IMM Sukoharjo dengan IMM yang ada di komisariat, IMM Sukoharjo dengan teknologi, IMM Sukoharjo dengan narasi pemberdayaan kader, IMM Sukoharjo dengan kampus UMS, IMM Sukoharjo dengan pemerintah kabupaten Sukoharjo dan IMM Sukoharjo dengan masyarakat. Dari persoalan di atas membuat hati saya tergerak untuk menjawab tantangan tersebut di atas dengan ilmu dan semangat saya miliki sejak menjadi kader dasar hingga menjadi kader madya karena menurut saya sebagai kader IMM yang sudah di bekali dengan kekuatan intelektual menjawab persoalan zaman adalah panggilan intelektual. panggilan intelektual itu tidak datang dengan di buat-buat atau ilusi tetapi panggilan intelektual itu hadir dari hati yang paling dalam. dia adalah panggilan hati nurani dan panggilan semesta yang harus kita ambil dan jalankan.
Memaknai kader IMM Sukoharjo adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan oleh kader selama 5 tahun tinggal di lingkungan UMS dan khususnya Sukoharjo, untuk membesarkan nama ikatan serta persyarikatan sebagai kendaraan ideologis perjuangan. Seyogyanya IMM Sukoharjo dan para kadernya dapat menjadi contoh di kampus dan di masyarakat luas sehingga dapat memberikan stimulus perjuangan serta menjadi sosok teladan dalam laboratorium perkaderan yang berkultur intelektual.
Sudah tidak dapat dipungkiri bahwa sejak dahulu IMM Sukoharjo dibangun oleh para pendahulunya untuk menjadi sebuah kultur yang beraroma intelektualitas, sehingga para kadernya memiliki nalar yang kritis terhadap keadaan sosial yang menyimpang serta pemahaman keilmuannya yang radikal dan komprehensif. Namun tetap bernafaskan spirit religiusitas serta diabdikan untuk mentransformasikan masyarakat yang ingin dicita-citakan oleh Muhammadiyah.
Berangkat dari hal itu untuk dapat menjaga perjuangan yang telah dibangun oleh para pendahulu kita, IMM Sukoharjo harus tetap menjaga kultur intelektualitas ini agar tetap eksis di tataran kampus dan dapat mencerahkan para masyarakat, maka dengan itu para kader IMM Sukoharjo harus dapat mencerahkan terlebih dahulu dirinya sendiri agar dapat mencerahkan masyarakat kampung halaman kita ataupun kampung halaman orang lain, supaya apa yang menjadi cita-cita Muhammadiyah dapat kita usahakan dengan semaksimal mungkin.
Karena dengan itu identitas kita sebagai mahasiswa yaitu Agent Of Change terpelihara dengan baik dan jati diri kader ikatan menjadi pelopor untuk mengusahakan cita-cita Muhammadiyah tersebut, melalui perkaderan yang akan diselenggarakan oleh IMM Sukoharjo senafas dengan apa yang diharapkan oleh persyarikatan, belum lagi kader IMM Sukoharjo ini datang dari berbagai penjuru Indonesia ada yang berasal dari pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, NTB, Bali, NTT hingga Papua.
Dalam keputusan PBB 2015. Termasuk Indonesia di dalamnya, memutuskan untuk membuat Suistainable Development Goals (Pembangunan Berkelanjutan). Dalam keputusan tersebut sekiranya ada 19 persoalan penting dalam dunia, termasuk di Indonesia. Adapun persoalan yang bisa digarap oleh IMM ialah tentang lingkungan, kesetaraan gender, perdamaian dan Hak Asasi Manusia. Semua itu bisa dikerjakan oleh IMM, jikalau IMM memilki ideologis yang matang serta kemandirian dalam gerakan. Hal tersebut bisa kita rumuskan bersama dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan.