Oleh : Osaka Hayer (202110230311049)
Saat ini kita manusia sedang berada pada masa moderensasi dan globalisasi. Kita berada di dalamnya dan kita tidak bisa keluar tentunya dari rana tersebut. Seperti yang kita tahu globalisasi merupakan proses terbentuknya penetrasi budaya yang berasal dari luar, baik berupa ekonomi, politik, sosial, dan pendidikan yang tentunya dipengaruhi oleh kemajuan teknologi yang sangat pesat saat ini.
Pendidikan merupakan salah satu yang terkena dampaknya dari globalisasi. Berbicara mengenai Pendidikan, pendidikan merupakan suatu pokok utama dari beberapa aspek yang mempengaruhi terbentuknya status sosial seseorang. Aspek penting ini juga merupakan sebuah alat untuk merubah masyarakat yang akan mengalami perubahan pada cara befikir dan ide-ide yang terbentuk ketika masyarakat sudah menerima pendidikan yang sejati. Jika kita membahas tentang pendidikan, tentu makna dari pendidikan tersebut haruslah kita mengerti. Seperti halnya Paulo Freire yang memaknai pendidikan yang terdapat pada buku yang dibuatnya yaitu ilmu politik pendidikan, pendidikan merupakan humanisme dimana arti atau definisi sederhana yang meenyatakan pendidikan adalah suatu alat produksi untuk memanusiakan manusia.
Sedikit membahas tentang Paulo Freire, ia merupakan salah satu tokoh yang memperjuangkan pendidikan hingga mati-matian. Dia merupakan ahli dalam ilmu pendidikan yang memiliki peranan penting dan pengaruh yang besar dalam bidang pendidikan dunia. Niat dan tekadnya untuk mengubah sistem pendidikan yang salah menjadi benar sangatlah besar. Freire memegang peranan penting dalam perubahan sistem pendidikan dunia. Lahir pada 19 September 1921, ia berasal dari keluarga kelas menengah. Dalam buku yang Freire buat berjudul “Pendidikan Kaum Tertindas”, memaparkan bagaimana pemikiran dia terhadap pendidikan.
Kembali pada pendidikan, pada buku Freire mengatakan bahwa sesungguhnya yang diperlukan dalam pendidikan merupakan humanisasi. Pendidikan yang humanis merupakan pendidikan yang memiliki tujuan untuk memanusiakan manusia. Selain itu ada hal yang pastinya bertentangan pada pendidikan yang humanis, yaitu pendidikan yang dehumanis. Pendidikan dehumanis merupakan sistem pendidikan yang dianggap oleh Freire sebagai salah satu tujuan yang tidak manusiawi. Dalam sistem pendidikan juga terdapat adanya pemberian sebuah ilmu pengetahuan yang dengan sengaja diberikan oleh guru dalam memberikan pengajaran yang ada. Pendidikan yang terjadi saat ini seakan-akan merupakan gambaran dari penindasan dan penjara untuk otak-otak bagi para peserta didik. Hal ini menyebabkan seorang peserta didik hanya sebatas menerima atau hanya akan menjadi sebuah objek dari sistem pendidikan yang ada. Sehingga keterampilan yang ada pada diri peserta didik seperti kreatifitas, imajinasi, dan skill-skill itu tidaklah berkembang dengan baik. Karena bekunya sebuah keterampilan yang ada pada diri peserta didik, maka yang akan tertuang pada perilakunya adalah perilaku yang negatif. Tawuran atau perkelahian antar pelajar, penyalahgunaan narkotika, obat-obatan, miras, hubungan seksual atau seks pra-nikah, dan tindakan kriminal lainnya, akan menjadi ancaman yang muncul pada diri peserta didik jika mereka tidak mendapatkan pendidikan yang sejati.
Kita menyadari masih sangat banyak krisis perilaku, pelanggaran etika dan norma sosial yang terjadi di sekitar kita. Salah satunya adalah pengalaman pribadi saya ketika saya menduduki bangku sekolah menengah atas pada tahun 2017. Pada saat itu saya memasuki salah satu sekolah swasta bergengsi di kota Bandung. Sebelum saya akhirnya memasuki sekolah tersebut, memang pada awalnya saya sudah mengetahui bahwa sekolah tersebut sudah tercap oleh masyarakat setempat khususnya daerah sekolah tersebut bahwa banyak sekali tindakan kriminal yang terjadi oleh siswa atau peserta didik sekolah tersebut, salah satunya adalah tawuran. Mendengar hal tersebut awalnya saya merasa cemas, karena ada 2 hal yang terbenak dalam pikiran saya. Pertama saya sangat takut untuk terjerumus masuk ke dalam pergaulan yang salah, dan yang kedua walaupun saya tidak masuk ke dalam kelompok tersebut, saya juga takut untuk menjadi korbannya. Pada saat hari di mana saya sudah mulai sekolah, memang benar, saya melihat fenomena tersebut yang sudah saya dengar sebelumnya. Sekolah saya sering kali hampir mendapatkan serangan dari sekolah lain, atau bahkan sekolah kami yang menyerang terhadap kelompok lain. Tidak hanya itu, minum-minuman keras di depan sekolah, merokok menggunakan seragam sekolah, dan tindakan yang tidak menggambarkan peserta didik yang baik, kerap saya temukan pada lingkungan sekolah saya itu. Meskipun saya melihat semua teman saya merokok, dan pastinya mengonsumsi minuman beralkohol, tetapi saya tetap berpegang teguh pada pendirian saya bahwa saya tidak akan terpengaruh oleh hal buruk yang ada terutama pada lingkungan saya.
Untungnya, sifat humanis pada diri saya sudah coba saya lekatkan sejak saya kecil. Sejak kecil, saya memang tidak suka melihat sebuah keributan, bahkan hingga perkelahian kecil maupun besar. Hingga saat ini saya sangat menjunjung tinggi humanity. Karna dengan hilangnya rasa humanis pada diri seseorang, menurut saya itu adalah sebuah bencana besar. Apalagi dalam pendidikan khususnya pada peserta didik. Hilangnya rasa humanis pada peserta didik sangatlah dapat merusak norma sosial yang ada pada dirinya.
Paulo Freire juga menegaskan bahwa perilaku dehumanis akan menjauhkan seseorang dari mengetahui bagaimana cara untuk manusia dapat berfikir bebas dan kritis, bukan hanya akan menjadi sebuah kaum yang tertindas yang hanya akan terus akan dimanfaatkan oleh penindas.
Dalam pendidikan, Freire juga menginginkan sistem pendidikan yang ada saat ini tidak mengenal apa yang namanya kekuasaan. Freire menyebut pendidikan tradisional sebagai ‘sistem bank’ karena guru yang sebagai subjek memiliki selimpah pengetahuan yang akan diberikan kepada peserta didik. Sedangkan murid hanya akan menjadi tempat deposit belaka yang artinya mereka hanya menampung semua informasi yang diberikan oleh guru. Di mana sang guru sebagai penguasa dan para peserta didik hanyalah dianggap sebagai korban dari kekuasaan tersebut. Peserta didik bisa menjadi subjek bagi dirinya sendiri dalam proses pembelajaran, dan guru akan menjadi ruang untuk para peserta didik untuk bisa belajar berfikir sendiri, memberikan kebebasan berpikir terhadap para peserta didik tersebut. Peserta didik dan guru sama-sama bisa menjadi subjek, dan tentu objek dari keduanya adalah ilmu.
Pada bab ke empat buku yang ditulis Freire berjudul “Pendidikan Kaum Tertindas”, membahas tentang suatu teori yang bertentangan satu sama lain, yakni dialogik dan juga anti-dialogik. Tindakan dialogik membangun sebuah kesatuan dan kebalikannya di mana anti-dialogik akan memcah-belah dengan tujuan melestarikan status quo, dengan contoh memaksakan pandangan hidup, menghambat tumbuhnya kreatifitas pada diri masyarakat, dan menciptakan rasa rendah diri seseorang. Selain itu juga antara 2 hal yang bertentangan ini, keduanya memiliki perbedaan lain, seperti dialogik mencakup organisasi yang authentic, sedangkan antidialogik akan memanipulasi dengan cara menghambat masyarakat saat mereka berfikir secara kritis dengan menciptakan mitos-mitos yang disebarkan.
Berubahnya sistem pendidikan menjadi lebih tersusun dan beralih ke arah yang benar adalah tujuan awal Paulo Freire. Sebab dia mengetahui apa yang baik untuk masyarakat lewat kritisinya selama masa hidupnya berlangsung. Meski banyak yang menentang salah satu tokoh hebat itu yang memperjuangkan pendidikan pada masanya. Paul Freire memiliki sejarah dalam perjuangannya memperjuangkan pendidikan dan akan selalu dikenang karena jasanya merubah sistem pendidikan.