Esai

Terlalu Ngefans Sama Artis Bisa Ganggu Kesehatan Mental? Ini Penjelasannya

Oleh: Ummu ‘Afifah, Mahasiswa Magister Sains Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Di era media sosial yang serba cepat ini, tak butuh waktu lama bagi seseorang untuk merasa “dekat” dengan selebritas idolanya. Hanya dengan membuka Instagram atau TikTok, kita bisa tahu artis favorit kita sedang makan apa, liburan ke mana, bahkan sedang curhat soal masalah pribadinya. Batas antara publik dan pribadi menjadi semakin kabur. Dalam sekejap, kekaguman pun berubah menjadi keterikatan emosional yang intens, seolah-olah mereka bagian dari hidup kita.

Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Sejak dulu orang punya tokoh panutan atau idola. Tapi kini, dengan koneksi digital tanpa batas, hubungan itu terasa semakin nyata. Sayangnya, yang tampak seperti hal sepele ini bisa pelan-pelan menyusup ke ranah yang jauh lebih dalam: kesehatan mental.

Dari Kagum Menjadi Terlalu Terikat

Mengidolakan seseorang bisa menjadi sumber motivasi dan semangat. Namun, tidak sedikit orang yang tanpa sadar melangkah lebih jauh, melewati batas wajar. Perasaan suka itu berubah menjadi obsesi, yang dalam istilah psikologi dikenal sebagai celebrity worship. Bukan hanya sekadar mengagumi, tetapi merasa sangat terikat secara emosional, bahkan seolah-olah hidup mereka punya makna karena keberadaan sang idola.

Penelitian menunjukkan bahwa ada tiga tingkat intensitas celebrity worship. Di level terendah, seseorang hanya mengidolakan artis untuk hiburan. Namun, semakin dalam, mulai terbentuk ikatan emosional yang tidak rasional. Bahkan, pada tahap paling ekstrem, seseorang bisa merasa memiliki sang idola, atau bersedia melakukan hal-hal berisiko demi mereka.

Apa yang terlihat sebagai kekaguman biasa, sebenarnya bisa merusak banyak aspek dalam hidup seseorang, mulai dari cara memandang diri sendiri, hingga kehilangan arah hidup.

Pelarian dari Dunia Nyata

Bagi sebagian orang, mengikuti kehidupan artis bisa menjadi pelarian dari realitas yang keras. Ketika merasa kesepian, tertekan, atau tak puas dengan diri sendiri, dunia selebritas terasa seperti ruang pelipur lara. Tapi pelarian ini bukan solusi. Justru bisa memperburuk keadaan ketika kenyataan kembali menampar, karena tidak ada strategi coping yang benar-benar dibangun.

Layar kaca dan media sosial sering kali hanya menampilkan sisi terbaik dari kehidupan sang idola, tubuh ideal, wajah tanpa cela, rumah mewah, pasangan sempurna. Tanpa sadar, kita mulai membandingkan. Mulai merasa tak cukup. Lama-kelamaan, identitas diri pun tergeser oleh ilusi yang kita ciptakan sendiri.

Hubungan yang Tak Pernah Seimbang

Ikatan antara penggemar dan selebritas adalah hubungan sepihak, atau dalam psikologi disebut parasosial relationship. Kita merasa dekat, mengenal, bahkan menyayangi mereka. Tapi sang idola? Tak tahu kita ada. Dan saat mereka melakukan sesuatu yang tak kita harapkan—menikah, berhenti berkarya, bahkan ganti gaya hidup—kita bisa merasa dikhianati, seolah kehilangan seseorang yang sangat berarti.

Ironisnya, hubungan semu ini bisa menyita banyak energi emosional. Waktu habis untuk stalking, begadang demi update terbaru, lupa tidur, lupa makan, bahkan menjauh dari orang-orang di sekitar yang nyata hadir dalam hidup.

Ketika Kesehatan Mental Mulai Terganggu

Psikologi mengenal konsep well-being atau kesejahteraan mental dan emosional. Carol Ryff, seorang psikolog terkenal, menyebut bahwa kesejahteraan sejati mencakup enam aspek penting: penerimaan diri, relasi sosial yang sehat, kemandirian, kemampuan mengontrol hidup, tujuan hidup yang jelas, dan pertumbuhan pribadi.

Sayangnya, pada banyak kasus celebrity worship yang berlebihan, semua aspek itu terganggu. Orang mulai kehilangan arah hidup karena terlalu sibuk mengikuti kehidupan orang lain. Mereka merasa rendah diri, menjauh dari hubungan sosial yang nyata, dan kehilangan kendali atas emosi—semuanya karena satu hal: hidup mereka terlalu bergantung pada eksistensi seseorang yang bahkan tidak mengenal mereka.

Penelitian pun membuktikan, penggemar fanatik selebritas cenderung lebih rentan mengalami kecemasan, depresi, dan kesepian. Mereka memiliki kepuasan hidup yang lebih rendah dan lebih sulit mengelola emosi secara sehat.

Mencintai Diri, Bukan Bayangan Orang Lain

Lalu, apa yang bisa kita lakukan?

Langkah pertama adalah menyadari batas wajar. Mengidolakan itu boleh—bahkan sehat, selama tidak mengganggu kehidupan pribadi. Tanyakan pada diri sendiri: Apakah aku masih hidup untuk diriku sendiri, atau sudah terlalu larut dalam hidup orang lain?

Kita juga perlu mengingat bahwa artis adalah manusia biasa. Mereka punya luka, punya cacat, punya kekurangan yang tidak selalu tampak. Menyadari ini bisa membantu kita berhenti menaruh ekspektasi tak masuk akal.

Yang tak kalah penting adalah memperkuat hubungan nyata di dunia sekitar. Peluk kembali keluarga, sahabat, komunitas. Bangun kembali tujuan dan cita-cita hidup kita. Apa yang membuat kita bahagia? Apa yang membuat kita bangga akan diri sendiri?

Dan terakhir, batasi konsumsi media sosial. Jangan biarkan algoritma mengatur perasaan kita. Pilih konten yang membangun, bukan yang membuat kita merasa kecil.

Mengidolakan seseorang bisa jadi hal yang menyenangkan. Tapi jangan sampai kekaguman itu mengaburkan siapa diri kita sebenarnya. Sebab, pada akhirnya, hidup ini bukan tentang siapa yang kita idolakan, tapi tentang bagaimana kita menjalani hari-hari sebagai diri kita sendiri.

Kesehatan mental adalah hak semua orang. Jangan tukar ketenangan jiwa hanya demi ilusi kehidupan orang lain. Lebih baik menjadi versi terbaik dari dirimu sendiri, daripada bayangan buram dari kehidupan orang lain.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button