BeritaInspirasi

Bermedia Sosial dengan Akal dan Adab

Oleh: Fathan Faris Saputro (Koordinator Divisi Pustaka dan Informasi MPID PDM Lamongan)

Sekitar dua ratus juta orang Indonesia kini hidup di dalam jaringan. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa 196,71 juta orang—atau 73,7 persen dari total penduduk—telah terhubung dengan internet pada tahun 2019–2020. Angka itu tentu kian membengkak hari ini, menjadikan internet sebagai rumah baru tempat manusia berbicara, mencari, dan menampilkan dirinya. Di dalam rumah itu, media sosial menjadi ruang tamu terbesar, tempat setiap orang bebas mengekspresikan gagasan tanpa perlu benar-benar hadir secara fisik.

Namun di balik gemerlapnya koneksi, ada sesuatu yang perlahan terkikis: adab. Media sosial yang seharusnya menjadi sarana berbagi pengetahuan dan mempererat hubungan, sering kali berubah menjadi arena saling serang dan adu kebencian. Kita hidup di masa ketika jari-jemari bisa lebih tajam dari pedang, dan komentar lebih menyakitkan dari fitnah. Islam sebenarnya telah memberi panduan jauh sebelum manusia mengenal istilah internet, ajaran yang berbicara tentang bagaimana menjadi manusia yang beradab di segala ruang kehidupan.

Dalam pandangan Islam, media sosial seharusnya digunakan untuk mencari informasi yang bermanfaat. Di tengah derasnya arus berita, banyak yang menenggak informasi tanpa berpikir, tanpa memeriksa apakah itu benar atau sekadar gosip belaka. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa mendaki satu jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah akan memudahkannya jalan menuju surga.” (HR.Muslim). Jalan menuju ilmu bukanlah jalan pintas yang berisi rumor, melainkan perjalanan yang menimbang dan menyaring kebenaran.

Di sisi lain, Islam menuntun umatnya untuk berdoa tabayyun sebelum mempercayai berita. Kita hidup di zaman ketika kebenaran janji demi klik dan perhatian, padahal Allah telah mengingatkan dalam QS. Al-Hujurat ayat 6 agar kita teliti dengan teliti setiap kabar yang datang. Namun sering kali, kita justru menjadi pemantik api dengan membagikan informasi yang belum pasti, menambah bara dalam ruang digital yang sudah panas. Setiap kali kita menekan tombol bagikan tanpa berpikir panjang, mungkin ada hati yang terbakar dan nama yang tercemar.

Kita pun sering lupa bahwa dosa tidak selalu lahir dari mulut, melainkan juga dari jari yang menulis. Ujaran kebencian dan hoaks tumbuh subur di balik anonimitas, membuat banyak orang merasa aman untuk menyakiti tanpa rasa bersalah. Allah telah berfirman, “Sesungguhnya yang mengada-adakan hanyalah cuplikan orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan merekalah orang-orang pendusta.” (QS. An-Nahl : 105). Menyebar kebencian bukan sekadar pelanggaran etika digital, tetapi juga menghina nilai-nilai keimanan.

Jika di dunia nyata kita diajarkan menjaga lisan, maka di dunia maya kita seharusnya menjaga tulisan. Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah engkau lebih banyak diam, karena diam dapat menyingkirkan setan dan membantumu terhadap urusan agamamu.” (HR.Ahmad). Namun di media sosial, diam sering dianggap kalah, membuat orang berlomba untuk bersuara paling keras dan merasa paling benar. Kita mengutuk tanpa empati, mengulangi kesalahan orang lain, dan lupa bahwa di balik setiap akun ada manusia yang punya perasaan.

Padahal media sosial juga bisa menjadi ladang pahala jika digunakan untuk menyampaikan kebaikan. Kebaikan tidak selalu berarti ceramah yang panjang, ia bisa hadir dalam bentuk kata yang menenangkan, informasi yang mencerahkan, atau konten yang menginspirasi. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menunjuk pada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR.Muslim). Sayangnya, di antara lautan konten yang viral, kebaikan sering tenggelam karena dianggap menarik.

Media sosial pada akhirnya adalah cermin yang menampilkan wajah masyarakat kita. Ia menjelaskan apakah kita bangsa yang beradab atau sekadar kumpulan pengguna yang sibuk menatap layar tanpa peduli makna. Adab bukan hanya soal sopan santun, tetapi tentang kesadaran bahwa setiap tindakan, bahkan sekecil apa pun menulis komentar, akan dimintai pertanggungjawaban. Ketika adab hilang, maka kecanggihan teknologi tak lagi berarti, sebab manusia kehilangan arah dan kemanusiaannya di balik cahaya layar yang memabukkan.

Redaksi : Al Fadhlil Raihan Yunan

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button