Oleh : Naufal Febrian
Sebuah mobil-mobilan kayu berderik-derik melintasi setiap jamaah yang sedang duduk tepekur.
“Berisik!” aku mengumpat dalam hati. “Kenapa rodanya harus terbuat dari besi sih? Kenapa juga gak dilumuri oli biar gak sakit ke telinga?”
Sejurus sebelum tertunduk kembali kuperhatikan seorang pria yang duduk di shaf depanku merogoh saku kokonya. Serius ia mengeluarkan uang lima ribu rupiah? Ah, betapa sombongnya ia. Aku tahu lelaki itu hanya seorang tukang sayur sama sepertiku. Kalau bukan berniat ria tidak mungkin ia melakukan hal demikian.
“Jun!” seseorang menggamik tanganku. Ia kira aku tertunduk karena tertidur.
Ah, sial! Kenapa mobil-mobilan kayu ini gak didorong saja melewatiku?
Aku mendongak sebentar melihat kotak amal berbentuk mobil-mobilan di depanku. Aku berpikir kotak tersebut terlalu kecil untuk menampung uang infak yang kebanyakan bernilai dua ribu rupiah itu. Lalu aku pun segera menggesernya ke samping tanpa mengisinya, kemudian kutepekur kembali.
*****
Mataku membelalak menyaksikan sebuah motor melintas di depanku, menggandeng keranjang kayu berukuran besar di belakangnya. Keranjang tersebut penuh dengan bermacam sayur, bumbu dan ikan.
Dari mana ia mendapatkan uang banyak untuk membeli motor tersebut?
Sambil mengayuh sepeda bututku yang membawa sayuran tak begitu banyak aku terus menerka-nerka tentang kejanggalan yang baru saja aku lihat. Ini bukan mimpi. Tapi ini juga tidak mungkin sebuah kenyataan.
Aku bergegas mengayuh sepeda sayurku. Melewati beberapa rumah dan sesekali masuk ke gang-gang kecil. Kuteriakkan kata yang sebenarnya sudah membuatku bosan, ‘yur-sayur’, secara berkali-kali dengan vokal cempreng. Ah, kapan aku akan menambahkan sebuah kata di depannya, semisal ‘beli’. Aku sudah bosan menjadi pedagang, aku ingin menjadi pembeli. Ya, pembeli yang mempunyai banyak uang tanpa harus menjadi pedagang sayur keliling.
Aku berharap daganganku segera habis sebelum zuhur. Aku ingin menyelidiki sesuatu tentang seseorang dan motor barunya. Sebuah pertanyaan besar mendadak menari-nari di benakku; bagaimana bisa?
*****
Karena rasa penasaran yang begitu kuat aku pun berusaha mencari tahu tentang apa yang sudah tetanggaku kerjakan selain berjualan sayuran tersebut. Menurutku, tidak mungkin ia mampu membeli motor sebagus itu jika tidak mempunyai pekerjaan lain atau mungkin telah menjual sawah, kebun atau tanah warisannya.
Ah, apakah ia sudah berani meminjam uang ke Bank?
Setelah beberapa hari menyelidikinya, bertanya kepada beberapa tetangga, tapi pada akhirnya aku pun tak mendapatkan informasi apa-apa. Dengan kata lain semua dugaanku keliru. Tetanggaku yang kuanggap sombong tersebut ternyata hanya mempunyai satu pekerjaan, menjual sayuran. Dan ia pun tak meminjam uang ke Bank bahkan tak mempunyai warisan tanah ataupun sawah.
“Dagangannya si Maman cukup lancar. Ia mempunyai banyak pelanggan di mana-mana.”
“Ia sangat dermawan makanya kayak begitu. Tuhan pasti gak akan salah melimpahkan rejekinya.”
“Sekarang ia lebih mudah berjualan sampai kampung yang jauh dengan motornya.”
Begitulah beberapa tanggapan sekaligus pujian yang aku dengar tentang tetanggaku yang mujur itu, hingga memaksaku berpikir keras untuk mencari jawaban atas penuturan-penuturan mereka. Lalu seketika ingatanku tertarik pada beberapa minggu yang lalu ketika salat Jumat itu, bahwa si Maman telah mengisi kotak amal tersebut sementara aku tidak.
Pasti karena itu!
Beberapa hari kemudian pada setiap salat Jumat aku berusaha duduk di sebelahnya semata-mata untuk menyelidiki kebiasaannya. Tak lupa aku pun selalu membawa uang untuk mengisi kotak amal tersebut dengan nominal yang sama dengan si Maman. Pikirku, Tuhan akan mengasihiku juga dengan memberi rejeki yang sama dengan tetanggaku itu.
Kini, tiap hari aku begitu semangat menantikan hari Jumat yang istimewa. Dan aku tidak lagi terganggu dengan derik roda besi kotak amal yang sedikit memekakkan telinga. Bagiku sekarang, derik tersebut bagaikan alunan simfoni yang mengasyikan. Selalu kurindukan kehadirannya.
“Kuperhatikan akhir-akhir ini Abang begitu rajin berangkat salat Jumat lebih awal,” komentar istriku tampak senang.
“Biar pahalanya juga lebih besar,” jawabku seraya mengulas senyum.
*****
Tapi beberapa bulan setelahnya tak ada perubahan yang kurasa atas pengisian kotak amalku yang rutin. Malah daganganku hanya setengahnya yang laku. Hampir tiap hari begitu, hingga ada beberapa sayuranku yang membusuk. Sialnya, malah ban sepedaku sudah beberapa kali bocor. Tidak seperti si Maman yang semakin hari semakin laris saja dagangannya. Tiap pagi berangkat dengan seabrek sayuran dan pulang dengan keranjang yang kosong. Dan kudengar, ia pun kini telah membeli sebuah televisi baru.
Apakah nominalnya kurang? Ya, kurasa aku harus lebih besar berinfak dari si Maman?
Derik itu pun mendekat dan berhenti di depanku. Seperti biasa terlebih dahulu aku membeberkan uangku sebelum dilipat menjadi beberapa bagian dan dimasukkan ke dalam kotak amal. Blas! Tak tanggung-tanggung kumasukkan nominal dua kali lebih besar dari biasanya. Kulirik si Maman masih bertahan dengan nominalnya yang dulu. Kupikir, pasti Tuhan akan melimpahkan rejekinya lebih besar kepadaku.
Tapi… Sial!
Sudah berbulan-bulan tak ada perubahan akan nasibku meski hal itu rutin kulakukan. Oke, sementara si Maman masih bertahan dengan nominalnya, aku semakin bernafsu melipatgandakan nominal infakku. Empat kali lipat! Ya, kali ini Tuhan pasti akan terketuk hatinya. Aku yakin celenganku lebih penuh dari si Maman, bahkan orang lain.
“Abang, kok jatah belanjanya semakin berkurang saja? Uang segini mana cukup untuk beli beras dua liter? Anak kita sudah beberapa hari merengek minta jajan, tuh!” protes istriku.
“Uangnya aku sisihkan untuk mengisi celengan Tuhan!” pungkasku tak peduli akan rasa heran istriku.
Sudah hampir sepekan perutku tak cukup terisi nasi. Aku lebih banyak mengkonsumsi sayuran daripada butir-butir putih makanan pokok tersebut. Beras yang kujatah satu liter tiap hari yang kemudian dimasak istriku, kurelakan lebih banyak dikonsumsi olehnya dan dua anakku. Ketika mereka bertanya akan hal tersebut, acapkali aku beralasan bahwa aku telah makan di luar. Padahal sebenarnya perutku masih sangat lapar dan tubuhku semakin melemah karena kurang karbohidrat.
Biarlah penderitaanku ini ditebus dengan kebahagiaanku kelak. Aku yakin uang yang sepuluh kali lipat telah kuinfakkan beberapa minggu ini akan segera mendapatkan balasan dari-Nya.
Duarrr!
Seketika terasa ada yang meledak dalam kepalaku. Terasa berdenyar-denyar. Rohku seakan terlepas meninggalkan jasadku yang ringkih. Melayang-layang di sekitarnya dengan raut mengiba. Ada bening panas mengembun di mataku, sepanas dadaku yang bergemuruh.
Motor lagi? Si Maman membeli motor lagi?
“Kali ini Tuhan sudah berbuat gak adil menurutku! Kepadaku! Apa yang salah denganku?” rasa kecewa bercampur marah keluar dari mulutku.
“Istigfar, Bang!” tegas istriku keheranan. “Ada apa?”
“Aku sudah ikhlas menahan nyeri di perutku akibat kurang makan nasi, demi menginfakkan uangku ke masjid. Mengisi celengan Tuhan. Ikhlas menyisihkan berlipat-lipat uangku melebihi si Maman. Tapi kenyataannya tetangga kita itu lebih beruntung. Hidupnya selalu mujur dariku.”
Sekali lagi istriku mengucapkan istigfar.
“Bagaimanapun Allah gak salah, Bang. Sampai kapan pun Ia akan selalu adil kepada umatNya yang benar-benar bertakwa. Abang berlaku demikian karena iri, ingin bersaing, bukan karena ikhlas. Makanya gusti Allah gak mengabulkan keinginan Abang. Lagi pula besar kecilnya infak yang kita keluarkan tergantung keikhlasan kita jika ingin mendapatkan pahala.”
Oooh… Maafkan aku ya Rabb atas kekhilafanku…
Ada getar menyeruak dalam diriku. Seperti aliran listrik yang seketika mengejutkan lalu melemahkanku, kata-kata istriku begitu dalam menghujam kalbu. Menyadarkanku. Dan, derik itu pun tiba-tiba meraja kembali di telingaku. ***
Ilustrasi : https://mui-sulteng.or.id/