KABARMUH.COM – Masnah, Sosok seorang ibu dengan putri semata wayang. kesehariannya tingal di Kampung baru Kecamatan Balikpapan Barat dengan amanah di Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (PDA) kota Balikpapan sebagai bendahara Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB) serta wakil ketua Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah Balikpapan Barat. lahir di Balikpapan pada 30 juni 1969, yang merupakan istri dari Bapak Faizal Fanani (almarhum), dengan pekerjaannya sebagai Juru masak dan memandikan jenazah.
Sebagai aktivis persyarikatan dan juga relawan Muhammadiyah Balikpapan di kebencanaan, Masnah merupakan juru masak utama di klaster dapur umum MDMC Balikpapan. Tercatat, mulai dari musibah di Balikpapan, gempa dan tsunami Palu, hingga gempa Mamuju, Masnah Jafar bersama Timnya hadir untuk menjamu ribuan pengungsi.
Berbekal sebilah pisau dan celemek yang menutupi dasternya, Masnah memotong tipis daging kambing di atas tempayan. Urat daging dicek dahulu sebelum diiris. Tenda biru menjadi atap sekaligus penghalang dari panas matahari pagi yang mulai terik di posko Muhammadiyah yang berada di Rimuku, Mamuju, Sulawesi Barat, Sabtu (30/1/2021).
Di sebelahnya, tujuh orang ibu juga melakukan hal serupa. Tiga kambing baru saja dipotong tim sukarelawan di posko Muhammadiyah untuk penyintas gempa Sulawesi Barat. Posko ini merupakan kerja sama Muhammadiyah Disaster Management Center, Lazismu, dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Setelah tuntas, ibu satu anak ini beranjak ke jejeran kompor yang berjarak beberapa langkah di sebelah kanan. Kuali seukuran meja bundar oshin diletakkan di atas kompor. Air bersih dimasukkan ke kuali. Setelah air panas, daging kambing yang telah dipotong kecil dimasak. Sesudah mendidih, air masakan daging dibuang.
“Biar dagingnya tidak keras dan baunya tidak nempel. Sama kayak tetelan dan yang ada lemaknya itu juga sudah kami masak lebih dulu dan buang airnya. Biar tidak banyak lemak. Kami juga tidak kasih pedas karena yang makan bukan cuma orang dewasa, tapi anak-anak juga. Kasihan kan kalau kepedesan, terus kolesterol tinggi,” tutur Masnah sembari menyiapkan wajan dan perlengkapan tempur dapur lainnya.
Lalu, bumbu diaduk dan gulai kambing mulai diolah. Satu jam setelahnya, pukul 12.00 lebih beberapa menit, gulai kambing disajikan untuk sukarelawan dan dibagikan kepada pengungsi yang telah mengantre. Pengungsi ini berasal dari sejumlah daerah di Mamuju.
Harum gulai menguar dan memanggil untuk dinikmati. Rasa gulai daging kambing ini menempel di lidah. Bumbu gulai menempel di potongan daging kambing yang serasa daging sapi. Entah karena lapar atau memang rasanya yang dahsyat. “Masak untuk pengungsi itu harus kita samain seperti masak untuk sendiri. Jangan karena untuk pengungsi, dikurang-kurangin. Malah mereka ini harus makan enak karena sudah tertimpa bencana,” ujarnya.
Dibantu rekan-rekannya, ia adalah juru masak utama di posko yang bisa melayani hingga 6.000 orang dalam sehari. Tugas utamanya mulai dari meracik bumbu, mengolah masakan, hingga mengusulkan menu.
Masnah seperti tak mengenal lelah, pekerjaannya belum berhenti selepas memasak. Ia bergabung dengan sukarelawan lain membungkus gulai. Padahal, di tangan kanannya, dua perban kecil masih menempel. Perban itu menutupi bekas jarum untuk transfusi darah dan infus. Di lengan kirinya ada bekas transfusi.
Pada Kamis (28/1) pagi, cerita Masnah, ia merasa sedikit pusing. Tim kesehatan sukarelawan Muhammadiyah memeriksa Masnah. Hasilnya, tekanan darah normal, tetapi hemoglobin (Hb) dalam darah rendah.
Ia lalu dirujuk ke RS Bhayangkara Mamuju untuk mendapatkan perawatan. Di sana, ia diinfus sebanyak lima kantong dan ditransfusi dua kantong darah. Karena kondisinya yang lemah, ia dirawat semalam di rumah sakit.
Beberapa jam beristirahat, ia bangun pada pukul 02.00. Setelah shalat, ia mulai menuju dapur umum untuk memasak hingga jelang pagi hari. Mandi pagi dilakukan setelah menunaikan shalat Subuh.
“Lumayan sehat, sudah dirawat. Yang penting bisa masak lagi karena sarapan itu harus kelar sebelum pukul 06.00. Biar sukarelawan dan pengungsi langsung makan setelah bangun,” ucap perempuan yang berasal dari Balikpapan ini. Sarapan yang dibuat bisa mencapai 1.000 hingga 2.000 porsi setiap hari.
Setelah sarapan, tugas Masnah tidak kunjung usai. Pekerjaan di dapur umum masih menunggu. Menu makan siang harus disiapkan. Ia pun kembali dengan aktivitas memasak, seperti memotong sayur dan mengolah bumbu.
Setelah selesai, baru ia menuju kamar yang disiapkan untuk ibadah beberapa menit. Sebab, bahan untuk makan malam juga harus disiapkan. Begitulah rutinitas yang dilakoninya selama lebih dari sepekan di Mamuju.
Menu sarapan, makan siang juga malam berbeda setiap hari. “Biar pengungsi tidak bosan makannya. Masa, tiap hari telur. Yang penting itu lauknya gentian, kalau hari ini ayam, besok daging,” katanya.
Gempa Sulawesi Barat
Setelah gempa berkekuatan M 6,2 mengguncang Majene hingga Mamuju, Jumat (15/1), Masnah yang juga Bendahara Divisi Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana Pengurus Daerah Aisyiyah Balikpapan mulai bergerak. Bersama rekan-rekannya, ia menggalang dana dan donasi. Ia juga berkoordinasi dengan pengurus lain di beberapa wilayah.
Setelah dana terkumpul dan ia dipastikan berangkat ke Mamuju, Masnah membeli sejumlah bumbu masakan. Ia khawatir, dengan kondisi gempa, rupa-rupa bumbu akan sulit didapatkan. Rabu (20/1),ia tiba di Mamuju bersama lima ibu lainnya. Mereka adalah tim tempur di dapur umum. Menurut rencana, mereka tinggal selama dua pekan di Mamuju untuk mengurus makanan pengungsi.
Setelah izin kepada anak semata wayangnya yang saat ini telah remaja, ia berangkat. “Anak saya tinggal sama sepupunya. Suami saya sudah meninggal sembilan bulan lalu. Kena diabetes, sakit dan meninggal,” tuturnya ringan.
Tidak hanya kali ini Masnah dan rekan-rekannya memasak saat bencana. Pada gempa Palu tahun 2018, sekitar satu pekan setelah gempa dahsyat tersebut, ia dan ibu-ibu lainnya telah tiba di posko pengungsian Muhammadiyah.
“Kami tiga minggu di sana, masak. Masih lihat, tuh, korban di pinggir jalan. Prihatin sekali lihatnya,” ucap Masnah.
Meski demikian, ia mengaku tidak takut melihat jenazah. “Saya kerjannya juga mandiin jenazah dari tahun ’90-an. Kalau takut tidak, hanya sedih lihatnya dalam satu waktu banyak yang meninggal.”
Sejak beberapa tahun lalu, ujarnya, terlibat dalam dapur umum telah ia jalani. Salah satunya saat kebakaran di permukiman di Balikpapan yang membuat ratusan warga mengungsi. Bersama rekan-rekannya, ia juga turut membuka posko dapur umum.
Saat pandemi, mereka berinisiatif berbagi makanan setiap Jumat. Beramai-ramai mereka menumpang mobil, mencari warga yang kesulitan untuk makan. Kegiatan rutin itu dilakukan sejak pertengahan tahun lalu.
Setiap ada musibah atau bencana, hati Masnah langsung tergerak. Dengan menggunakan dana pribadi atau dana organisasi, ia berupaya memberi bantuan. Memasak adalah keahliannya. Maka, ia membuat makanan untuk pengungsi atau mereka yang tertimpa musibah.
Memasak untuk orang yang tertimpa musibah membuat Masnak merasa bahagia. Ia sudah sangat senang ketika melihat orang memakan masakannya dengan lahap.
Kemampuan memasak Masnah turun dari ibunya yang memang dikenal sebagai juru masak kampung. Mengikuti jejak sang ibu, ia kini menjadi juru masak untuk pesta, seperti pernikahan atau khitanan. Ia menerima panggilan memasak ataupun membuatkan masakan di rumah lalu mengantarnya kepada pemesan.
Masnah mulai belajar memasak sejak remaja. Selain dari ibunya, ia juga belajar dari tetangganya, Endang yang berprofesi sebagai chef (koki). Dari situ, kemampuan mengolah berbagai jenis masakan semakin bertambah.
“Waktu nikahan, saya masak sendiri. Masa, lagi di-make up, ditanyain sama orang dapur. Apa lagi bumbunya, tambah garam tidak?” ucapnya sembari tertawa.
Memasak, bagi Masnah, memang sebuah panggilan hidup. Namun, ada hal yang bisa membuatnya melempar celemek, dan meninggalkan dapur, yaitu ketika ada panggilan untuk memandikan jenazah.
Menurut Masnah, memasak masih bisa dikerjakan oleh orang lain. Sementara memandikan jenazah hanya sedikit orang yang tahu. “Pernah juga pas masak kawinan ada panggilan orang meninggal. Ya, saya tinggalin. Rezeki, umur, jodoh, itu rahasia Allah. Kita berbuat baik saja,” ucapnya.
Ia akan terus turun membantu saat ada musibah di sekitarnya. Namun, ia juga berharap tidak terjadi bencana lagi yang menghilangkan nyawa banyak orang.
Sumber : Kompas.id
luar biasa…pejuang tangguh