Oleh : Nayla Assyifa (202110230311051)

Pendidikan adalah bidang kehidupan yang akan ditempuh oleh semua golongan individu, baik golongan atas, tengah, bawah, golongan tua, muda, dan dari segala jenis individu yang ada. Pendidikan merupakan bidang yang tidak akan pernah bisa lepas dari kehidupan manusia, mulai dari seorang manusia dilahirkan hingga seorang manusia menutup usia pendidikan akan selalu menjadi bagian dari kehidupan. Pendidikan bisa diperoleh dimanapun dan kapanpun, tergantung dengan setiap individu yang ingin belajar. Bidang pendidikan memiliki sarana untuk memperoleh ilmu yang disebut sekolah, sekolah umumnya ditempuh sejak usia empat tahun yaitu taman kanak-kanak hingga memasuki masa sekolah tingkat akhir. Setelah menyelesaikan sekolah tingkat akhir, selanjutnya sarana yang dapat ditempuh disebut dengan universitas atau pendidikan tingkat tinggi.

Paulo Freire merupakan seorang yang berbagai pemikirannya ditumpahkan dalam buku yang memiliki judul Pendidikan Kaum Tertindas. Selain itu, pemikiran Freire memiliki pengaruh besar dalam bidang pendidikan, diantaranya adalah pemikirannya tentang pendidikan, konsientisasi, ataupun tentang konsep humanisasi dan dehumanisasi. Paulo Freire lahir pada 19 September 1921 di kota Recife yang mana merupakan sebuah wilayah pelabuhan yang mengalami kemiskinan dan keterbelakangan di Brasil. Paulo Freire merupakan putra dari pasangan Joaquim Temistocles Freire dan Edeltrus Neves Freire, disebutkan bahwa keluarga Paulo Freire merupakan keluarga yang memiliki golongan kelas menengah, tetapi pada akhirnya mengalami kejatuhan ekonomi saat krisis ekonomi terjadi di Brasil.

Paulo Freire menikah dengan seorang guru bernama Elza Maia Costa Oliviera pada tahun 1944. Dari pernikahan ini Freire dikaruniai dua orang putra dan tiga orang putri. Pada masa inilah Freire yang sebenernya merupakan seorang lulusan sarjana hukum mulai memiliki minat terhadap bidang pendidikan. Karena ketertarikannya terhadap kemajuan pendidikan, sekitar tahun 1964-an, Freire mengajarkan aksara hanya dalam 45 hari kepada kaum buta aksara, sehingga dapat membawa kaum buta aksara berpartisipasi dalam politik.

Dalam hal ini, adanya keinginan untuk maju bagi kaum buta aksara sesuai dengan konsep yang diutarakan oleh Paulo Freire, yaitu konsientisasi. Konsientisasi disini memiliki pengertian ketika kaum yang telah mengalami kemiskinan dan tertindas semakin lama semakin sadar akan ketertindasannya dan memiliki keinginan untuk mengubahnya. Kesadaran diri dalam konsientisasi dalam pengertian Freire tidak hanya berhenti pada refleksi pemikiran tetapi sampai kepada aksi nyata secara terus-menerus. Konsientisasi disini tidak hanya sampai pada pemikiran untuk mengubah keadaanya tetapi juga berusaha untuk mengubah keadaan kemiskinan ataupun tertindas yang telah dialami.

Contoh lain mengenai konsep konsientisasi dalam kehidupan nyata adalah ketika seseorang yang memiliki keterbatasan ekonomi, tidak menyerah dalam mengejar kesuksesannya dan berusaha untuk mengubah keterbatasan ekonomi yang dimilikinya. Seperti berita dengan judul “Anak Tukang Becak Raih Gelar S3 di Inggris” yang pernah dilansir melalui beberapa media, hal ini membuktikan bahwa konsep konsientisasi Freire dapat dilaksanakan.

Selain membahas tentang pemikiran Paulo Freire mengenai konsientisasi dan pendidikan, buku Pendidikan Kaum Tertindas juga membahas konsep tentang tertindas, yaitu humanisasi dan dehumanisasi. Konsep tertindas dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas ini menjelaskan bahwa dalam perjuangan humanisasi manusia yang tertindas tidak boleh menjadi penindas untuk kedepannya. Humanisasi disini memiliki pengertian rasa kemanusiaan bagi yang tertindas yang harus diperjuangkan untuk mendapatkan keadilan. Humanisasi yang diperjuangkan seringkali dihambat oleh ketidakadilan, eksploitasi, dan kekerasan oleh kaum penindas.

Penindasan bukan hanya dapat terjadi didalam masyarakat yang mengalami kemiskinan, penindasan atau bullying dapat terjadi diberbagai tempat, salah satunya ditempat seseorang menempuh pendidikan. Menurut Huggins (dalam Widiyanti, 2019), fenomena bullying atau penindasan akan selalu terjadi dimanapun selama manusia masih termasuk individu yang melakukan sosialisasi dengan sesame individu lainnya, fenomena bullying ini dianggap akan semakin meningkat dengan meluasnya tindak kekerasan yang ada.

Dalam pendidikan di Indonesia, seringkali terjadi penindasan atau bullying, menurut catatan dari KPAI pada tahun 2011 hingga 2014 tercatat 369 kasus tentang bullying. Menurut sebuah kelompok studi skala international yang menangani tentang masalah hak anak (dalam Harefa dan Rozali, 2020), menyebutkan bahwa 84% siswa di Indonesia mengalami bullying ketika sedang berada disekolah. Hal ini menguatkan bukti bahwa penindasan yang terjadi pada bidang pendidikan di Indonesia sangatlah tinggi.

Akibat dari ketidakadilan, eksploitasi, dan kekerasan Freire menyebutnya sebagai dehumanisasi. Dehumanisasi disini tidak hanya untuk kaum tertindas yang kehilangan kemanusiaanya, tetapi juga bagi kaum yang telah merebut kemanusiaan orang lain. Perjuangan bagi kaum tertindas tidak hanya untuk menghentikan penindasan tetapi juga agar dapat membebaskan kaum tertindas agar tidak melakukan penindasan dimasa depan. Maksudnya adalah agar korban yang mengalami penindasan mendapatkan kebebasan sepenuhnya, yang mana tidak menjadi korban penindasan ataupun pelaku penindasan dikemudian hari.

Berdasarkan pengalaman pada kehidupan nyata, seringkali dijumpai opini tentang korban tertindas yang berakhir menjadi seorang penindas. Menurut Elmahera (2018), anak yang pernah menjadi korban penindasan dapat menjadi pelaku penindasan dalam empat tahun kedepan. Hal ini dapat disebabkan karena munculnya fantasi atau ide-ide untuk membalas dendam kepada pelaku yang menindas dirinya. Fantasi atau ide yang muncul ini bisa terwujud jika keinginan atau perasaan negatif yang timbul tidak diatasi dengan baik, hal ini lah yang menyebabkan kemungkinan seorang korban penindasan berubah menjadi pelaku penindasan.

Selain dari rasa fantasi dan ide-ide untuk membalas dendam, pelaku penindasan juga bisa berasal dari rasa penindasan terhadap diri sendiri. Seperti pengalaman diluar buku Pendidikan Kaum Tertindas ini, sering kali seorang pelaku penindasan mengalami penindasan terhadap dirinya sendiri, maksudnya adalah ketika pelaku memiliki keraguan terhadap dirinya sehingga memaksakan diri untuk lebih berkuasa daripada orang lain untuk menutupi kekurangan dalam dirinya.

Sesuai dengan konsep humanisasi yang diperjuangkan oleh Paulo Freire, dimana keinginan untuk membebaskan setiap golongan dari penindasan, baik golongan yang kemanusiaanya direbut ataupun golongan yang merebut kemanusiaan orang lain.

Menurut pemikiran Freire, pembebasan dari tertindas haruslah datang dari korban yang mengalami penindasan. Bagi kaum penindas hanya terdapat dua konsep pemikiran, yaitu menindas dan tertindas, sehingga hampir mustahil bagi kaum penindas akan melepaskan kegiatan menindasnya. Sedangkan bagi kaum tertindas, kebebasan dapat dipahami karena telah merasakan dan memaknai rasa penindasan yang mengerikan.

Pada konsep tertindas dan menindas oleh Paulo Freire, poin yang ingin disampaikan dalam Pendidikan Kaum Tertindas adalah perjuangan untuk memperoleh kebebasan harus diperjuangkan secara bersama dan bukan hanya untuk kaum tertindas dalam memperoleh kemanusiaan dan kebebasan secara sepenuhnya.

Pada setiap konsep pemikiran yang telah disampaikan Paulo Freire yang diuraikan dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas ini selalu mengutamakan rasa kemanusiaan, sehingga dapat menimbulkan rasa untuk saling memperdulikan satu sama lain. Selain itu, dengan adanya konsep yang diutarakan Freire, dapat memicu munculnya kesadaran dan keinginan untuk menjadi masyarakat yang mengutamakan kemanusiaan agar dapat menghargai satu sama lain.

Sumber : 

Elmahera, D. (2018). Analisis Bullying Pada Anak Usia Dini. Prosiding Seminar dan Diskusi Nasional Pendidikan Dasar. Retrieved from: http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/psdpd/article/view/10189/6603

Freire, P. (2008). Pendidikan kaum tertindas. Jakarta: Pustaka LP3ES.

Harefa, P. P. P., & Rozali, Y. A. (2020). Pengaruh Lingkungan Sosial Terhadap Konsep Diri Pada Remaja Korban Bullying. JCA Psikologi, 1(1). Retrieved from: https://jca.esaunggul.ac.id/index.php/jpsy/article/download/36/35

Widiyanti, W. (2019). Mengenal Perilaku Bullying di Sekolah. Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, 3(1). Retrieved from: http://journal.staincurup.ac.id/index.php/JBK

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here