Oleh: M. Andhim
Bulan Rabi’ul Awal telah tiba. Menjadi salah satu bulan yang sangat dinanti-nantikan kehadirannya. Mengapa? Kerana di dalamnya ada satu hari yang sangat dimuliakan. Mulia karena peristiwa kelahiran seorang manusia, yang sangat mulia pribadinya. Beliau adalah Nabiyullah Muhammad ‘alaihi sholatu wassalam.
Kita dapat menyaksikan wajah-wajah kaum muslimin yang berseri-seri. Bak bunga bermekaran di musim semi. Memandang keindahannya membuat hidup semakin berarti. Begitupun wajah mereka yang memancarkan luapan kebahagian. Bahagia karena dapat menjalankan beraneka ragam kegiatan. Sebagai ajang pembuktian terhadap cinta yang diperjuangkan. Cinta terhadap sosok yang senantiasa menebarkan benih-benih cinta semasa hidupnya. Sebagai representasi risalah cinta yang diemban olehnya.
Cinta itu menuntut bukti
Seolah pekerjaan tak menjadi halangan. Giat pembelajaran tak menjadi halauan. Pun dengan masa pandemi ini seolah tak dipandangnya sebagai rintangan. Baik yang membuat acara seremonial atau pun yang tidak melakukan. Baik yang mengekspresikan perasaannya secara luring maupun daring. Pada dasarnya semua dijalani atas rasa cinta. Demikian bahasa cinta. Semakin besar rasa cinta, semakin besar pula tuntutan untuk membuktikannya.
Cinta sejati tidak cukup dengan pembuktian sehari atau dua hari saja. Selama raga masih dikandung badan kita. Selama ruh masih setia dengan raganya. Selama itulah rasa cinta kita terus menagih pembuktiannya. Lantas bagaimana cara untuk membuktikan cinta ini? Tentu dengan menjadikan sosok yang kita cintai sebagai teladan dalam kehidupan sehari-hari. Menjadikannya sebagai “role model” dalam segala aspek kehidupan adalah langkah yang amat tepat. Karena beliaulah rasul terakhir yang diutus menunjukkan jalan bahagia dunia dan akhirat.
Latar sosio-kultural sang Rasul akhir zaman
Muhammad diutus di tengah-tengah kaum jahiliyah. Kaum yang terperangkap dalam kegelapan karena maraknya kesesatan dan kemaksiyatan. Berhala diciptakan oleh tangan-tangan mereka sendiri. Diperjual belikan kesana-kemari. Lalu diagung-agungkan dan diklaimnya sebagai tuhan yang berhak diibadahi.
Lahir di lingkungan yang ummi. Hanya sedikit di antara mereka yang melek literasi. Tidak banyak yang menerima kebenaran dari kitab samawi. Bahkan dengan kebodohan yang tidak disadari berani mengubah isi kitab suci. Sungguh keterlaluan! Kepongahan yang dipertontonkan menimbulkan banyak kegaduhan. Kriminalitas menjadi tontonan keseharian. Pemerkosaan, perjudian, perampokan hingga pembunuhan. Dengan mudahnya dapat dijumpai di sudut-sudut jalan.
Spirit Muhammad sang revolusioner
Kerusakan aqidah dan akhlak adalah dua tantangan yang dibebankan pada pundak sang nabi. Oleh karenanya Allah mengutusnya tak lain untuk melakukan agenda revolusi. Meluruskan keyakinan yang menyimpang dari fitrah anak cucu Adam. Dengan memberantas segala perilaku kesyirikan. Hal yang sama dilakukan oleh Isa ‘alaihi salam ketika menggiring “domba-domba” dari kesesatan menuju tauhid yang penuh kemurnian. Demikian dengan kerusakan moral yang terus menjalar. Menjadi penghalang hati dari setiap hal yang baik dan benar. Sehingga mengharuskan nabi akhir zaman ini untuk terus mengupayakan revolusi moral. Sebagaimana sabdanya: “Innama bu’istu liutamimma makarima al-akhlaq”. Artinya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”.
Apakabar generasi saat ini?
Menurut Syed Sajjad Husain dan Ali Ashraf (2000), telah terjadi krisis moral dan kejiwaan pada abad ke-2 ini akibat dari gelombang krisis materialisme. Gaya hidup materialistik tidak menjadikan moralitas sebagai anutan. Akan tetapi kekayaan yang dijadikan ukuran kemuliaan dan kehormatan. Dekadensi moral yang ditunjukkan oleh sebagian generasi muda yang digadang-gadang akan menjadi pewaris tahta kepemimpinan telah mencoreng wajah pendidikan. Sebagai kaum terdidik yang harusnya menunjukkan sikap dan perbuatan yang bermuatan akhlak mulia, justru menunjukkan tingkah laku yang sebaliknya.
Bukan isapan jempol belaka! Jika kita perhatikan apa yang disampaikan oleh dua tokoh di atas jelas benar adanya. Banyak generasi muda kita yang turut andil dalam kasus kriminalitas. Semua terjadi karena dampak globalisasi yang memudahkan mereka terjebak dalam pergaulan bebas. Sebagai seorang pendidik, penulis tak akan lupa tentang kasus pembunuhan 2 tahun lalu yang menimpa seorang guru oleh siswanya di Madura. Begitupun 4 bulan lalu, dengan terazianya puluhan pasangan pelajar sekolah menengah yang mengadakan “sex party” untuk merayakan hari kelahirannya. Juga dengan kasus 2 hari yang lalu, di mana para pelajar melakukan tawuran hingga berujung pada kematian. Inilah fakta sebagian generasi kita.
Apa sebabnya?
Tak ada asap tanpa api. Sepenggal peribahasa yang menyoal hukum kausalitas. Adanya akibat menunjukan adanya sebab. Zakiyah darojat, seorang muslimah ahli psikologi menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang turut mempengaruhi tindakan negatif manusia di era modern ini. Pertama, kebutuhan hidup yang semakin meningkat. Kedua, rasa individualitas dan egois. Ketiga, persaingan dalam hidup. Keempat, keadaan yang tidak stabil. Dan terakhir yang terpenting adalah lepasnya pengetahuan dari nilai-nilai agama.
Meneladani spirit revolusi Sang Nabi
Jika kita perhatikan kasus yang terjadi kini dengan masa lahirnya kanjeng Nabi ternyata ada kesamaan sekaligus perbedaan. Kesamaannya terletak pada kondisi maraknya perilaku-perilaku yang jauh dari moralitas. Hanya saja era “jahiliyah modern” bentuknya lebih beraneka ragam, karena dukungan kecanggihan teknologi. Misalnya, jika dahulu perjudian hanya akan terlaksana jika ada perkumpulan orang. Saat ini perjudian bisa dilakukan jarak jauh, bahkan lintas wilayah dalam satu waktu. Demikian halnya dengan segala bentuk kejahiliyahan modern lainnya. Adapun perbedaanya, jika dahulu Rasulullah menghadapi kaum yang tidak melek literasi karena segala keterbatasan yang ada. Berbeda dengan generasi kita saat ini, dengan fasilitas yang ada harusnya tidak ada yang buta literasi lagi. Bahkan tidak sedikit pelaku yang menunjukan dekadensi moral itu adalah kaum yang sangat melek literasi. Banyak sekali contohnya!
Sahabat sekalian, marilah kita jadikan momentum maulid nabi ini sebagai pijakan untuk memulai kembali langkah revolusi moral. Mengingat kemerosotan moral adalah tantangan yang sangat besar. Tentu tidak cukup bagi kita melangkah hanya dalam waktu sehari atau dua hari. Perlu waktu yang panjang untuk kembali menggelorakan semangat revolusi ini. Bahkan sampai nyawa meregang dari raga kita. Tak cukup rasanya bagi kita untuk melanjutkan perjuangan ini. Perlu langkah yang sistematis di dalam memerangi kebatilan. Sebagaimana pesan sayidina Ali ibn abi Thalib, “Al-haqu bila nidzamin yughallibuhu al-bathilu bi nidzamin”. Artinya, “kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkah oleh kebathilan yang terorgansisir”.
Sekali mendayung dua pulau terlampui. Bersamaan dengan memerangi kebatilan kita harus terus melakukan kaderisasi atas generasi-generasi penerus kita. Sebagaimana kanjeng nabi yang juga mengkader para sahabat untuk tetap dan terus melanjutkan misi revolusi moral ini. Dari mana kita mulai? Tentu dengan mengenalkan dan membuat generasi kita semakin dekat dengan Allahu rabbi. Dengan tauhidlah mereka akan taat. Dan karena hanya dengan ketaatan itulah kebatilan akan terhapuskan.
Ilustrasi: yamanyoon.com