
Oleh: Fathan Faris Saputro (Koordinator Divisi Pustaka dan Informasi MPID PDM Lamongan)
Di tengah derasnya arus revolusi teknologi, dunia kini memasuki era baru yang ditandai dengan kehadiran Meta AI atau kecerdasan buatan lanjutan. Teknologi ini mampu memproses data dalam jumlah besar dan menghasilkan solusi secara cepat serta kompleks. Meta AI menjanjikan efisiensi dan inovasi di berbagai sektor, mulai dari kesehatan hingga pendidikan. Namun, kemajuan ini membawa serta pertanyaan mendalam tentang posisi manusia, etika, dan panduan agama dalam menyikapinya.
Meta AI telah mengubah cara pandang manusia terhadap dunia dan kehidupannya. Dalam bidang kesehatan, teknologi ini bisa mendiagnosis penyakit lebih cepat dan akurat daripada metode konvensional. Di ranah pendidikan, AI dapat membantu proses pembelajaran dengan pendekatan personal yang adaptif. Akan tetapi, berbagai kekhawatiran pun muncul, terutama terkait masa depan pekerjaan manusia dan otoritas pengambilan keputusan.
Islam sebagai agama yang holistik memiliki pandangan yang tidak alergi terhadap kemajuan teknologi. Melalui pendekatan Manhaj Tarjih, umat Islam diberikan kerangka berpikir yang rasional, kontekstual, dan tetap berlandaskan nilai-nilai syariat. Majelis Tarjih Muhammadiyah telah lama memainkan peran penting dalam merespons isu-isu kontemporer dengan pandangan yang moderat dan progresif. Dalam konteks Meta AI, pendekatan ini menjadi sangat relevan untuk menghindari sikap reaktif dan memastikan kemaslahatan tetap menjadi orientasi utama.
Teknologi dalam Islam tidak dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan prinsip agama, selama penggunaannya tidak menyalahi nilai-nilai moral. Islam mendorong umatnya untuk terus mencari ilmu dan menciptakan inovasi yang memberi manfaat bagi kehidupan. Oleh karena itu, Meta AI bisa menjadi sarana untuk memperkuat peran manusia sebagai khalifah di bumi. Namun, manusia tetap harus menjadi pihak yang mengarahkan teknologi, bukan sebaliknya.
Manhaj Tarjih memberikan dasar normatif bahwa segala bentuk kemajuan harus diorientasikan pada nilai keadilan, kemaslahatan, dan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Dalam hal ini, AI perlu diarahkan agar tidak menciptakan kesenjangan sosial, pelanggaran privasi, atau dominasi korporasi atas kemanusiaan. Prinsip-prinsip Islam seperti kejujuran, tanggung jawab, dan transparansi perlu ditanamkan dalam setiap proses pengembangan dan penggunaan teknologi. Maka, AI bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal tanggung jawab etis.
Sejarah mencatat bagaimana manusia dan teknologi sering dipertentangkan, sebagaimana ditunjukkan dalam pertandingan catur legendaris antara Garry Kasparov dan komputer IBM Deep Blue. Saat itu, seolah dipertontonkan bahwa martabat manusia sedang diuji oleh mesin yang diciptakannya sendiri. Framing seperti ini justru menyesatkan, karena pada hakikatnya teknologi adalah produk dari daya pikir manusia. Oleh karena itu, manusia harus menempatkan teknologi sebagai mitra, bukan musuh.
Kekhawatiran berlebihan terhadap AI justru bisa menjadi penghambat kemajuan dan menciptakan resistensi terhadap perubahan yang niscaya. Islam mengajarkan keseimbangan antara berpikir optimis dan bersikap waspada, bukan menolak secara membabi buta. Positivisme terhadap teknologi perlu dikembangkan dengan tetap menjaga nilai-nilai luhur dan kemanusiaan. Dengan demikian, AI bisa digunakan secara bijak, tanpa kehilangan orientasi spiritual.
Di internal Muhammadiyah, proses digitalisasi organisasi sudah mulai digalakkan, terutama dalam pelestarian sejarah dan dokumentasi kegiatan. Upaya ini patut diapresiasi karena memungkinkan jejak perjuangan Muhammadiyah mudah diakses dan dipelajari publik. Namun, digitalisasi masih menghadapi hambatan, khususnya di tingkat cabang dan ranting yang minim SDM digital. Mayoritas aktivis di level ini berasal dari generasi tua yang belum akrab dengan perangkat teknologi.
Selain keterbatasan usia dan latar belakang pendidikan, banyak aktivis Muhammadiyah di akar rumput yang menjadikan aktivitas organisasi sebagai kegiatan sampingan. Hal ini menyebabkan rendahnya intensitas keterlibatan mereka dalam pengembangan digital organisasi. Bahkan ketika program sudah dirancang dengan baik, tanpa dukungan SDM yang mumpuni, digitalisasi hanya akan menjadi wacana. Oleh karena itu, regenerasi kader menjadi kebutuhan mendesak untuk menjawab tantangan zaman.
Kader-kader muda Muhammadiyah harus diberdayakan untuk mengambil peran penting dalam transformasi digital organisasi. Mereka tidak hanya dituntut untuk melek teknologi, tetapi juga memiliki pemahaman ideologis dan spiritual yang kuat. Dengan perpaduan tersebut, digitalisasi tidak hanya menjadi alat eksistensi, tetapi juga media dakwah yang efektif. Jika tidak, maka banyak kegiatan produktif Muhammadiyah akan terputus dari jejak digital dan kehilangan dampaknya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. H. Haedar Nashir, menekankan pentingnya membudayakan tradisi membaca sebagai fondasi kemajuan berpikir. Perintah pertama dalam Al-Qur’an adalah “iqra”, yang menandai bahwa ilmu pengetahuan adalah pilar utama peradaban Islam. Namun, membaca saja tidak cukup; umat Islam harus melatih kecakapan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills). Hanya dengan kemampuan menganalisis dan mengevaluasi, umat Islam bisa menjadi pelaku aktif dalam perubahan zaman.
Haedar mengingatkan bahwa manusia memiliki potensi yang tidak dimiliki oleh AI, yaitu akal dan hati nurani. AI adalah produk dari ciptaan manusia, sehingga tidak layak jika manusia tunduk padanya. Ketergantungan mutlak pada AI tanpa pengembangan kapasitas intelektual justru akan mengkerdilkan peran manusia itu sendiri. Maka dari itu, umat Islam harus terus mengasah daya pikir untuk tetap unggul secara etis dan intelektual.
Penulis menggarisbawahi bahwa AI seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti. Ketika manusia menyerahkan segalanya pada AI tanpa berpikir, maka ia kehilangan identitasnya sebagai makhluk berakal. Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 190–191 menegaskan pentingnya menggunakan akal untuk merenungi ciptaan Allah. Maka, menjaga otak tetap bekerja adalah bagian dari amanah spiritual yang tidak bisa digantikan oleh mesin.
Jika umat Islam hanya mengandalkan hafalan tanpa analisis, maka mereka tidak akan mampu menghadapi tantangan masa depan. Dunia terus berubah, dan masalah-masalah baru muncul yang menuntut solusi kreatif dan kontekstual. AI bisa memberikan data, tetapi hanya manusia yang bisa memberikan makna dan arah. Oleh sebab itu, umat Islam harus terus berpikir kritis dan inovatif agar tidak tertinggal dalam arus zaman.
Meta AI adalah keniscayaan, dan ia bisa menjadi anugerah atau ancaman tergantung pada bagaimana manusia menyikapinya. Manhaj Tarjih Muhammadiyah memberikan kerangka pikir yang kuat untuk menghadapi fenomena ini dengan bijak. Islam tidak menolak teknologi, tetapi menempatkannya dalam kerangka nilai yang manusiawi dan etis. Selama umat Islam menjaga akal dan akhlaknya, maka teknologi sebesar apa pun tidak akan menggantikan peran luhur manusia sebagai khalifah di bumi.
Redaksi : unaise albunayya



