Oleh: Andi Rezti Maharani*
Di tengah gegap gempita dunia yang semakin mempesona, masih banyak yang menjadikannya sebagai tolak ukur kesuksesan. Saat ini jarang kutemukan seseorang yang belajar dan bekerja tulus tanpa menginginkan cuan. Ketika ditanya perihal keinginan di masa depan, rata-rata akan menjawab ingin menjadi sukses, ingin membahagiakan orangtua, dan ingin punya mobil dan rumah besar. Bisa saja definisi sukses menurut orang-orang itu berbeda. Namun, kebanyakan dari mereka mengartikan kesuksesan itu hanya sebatas kesuksesan di dunia. Padahal yang kita ketahui bahwa dunia ini sifatnya sementara.
Ada sebuah kalimat menarik yang saat ini banyak dipakai warganet, “Selamat pagi dunia tipu-tipu”. Aku bersyukur karena sebagian warganet sudah menyadari bahwa hakikat dunia itu memang menipu. Lalu, untuk apa kita mempercayai sesuatu yang sudah jelas menipu?
Jangan Bekerja Hanya untuk Uang
Sejak awal, mindset kita ketika belajar di sekolah adalah untuk menjadi orang sukses dan bercuan banyak. Hampir tidak dapat dipungkiri. Pemikiran semacam itu timbul tak lepas dari faktor lemahnya perekonomian kita saat ini. Orang-orang berlomba untuk menaikkan taraf hidup mereka. Dengan belajar di sekolah dan menuntut ilmu, kita diharapkan dapat memperbaiki SDM yang saat ini negara butuhkan. Tapi kita lupa bagaimana sebenarnya standar manusia yang berkualitas itu.
Jika kita menganggap manusia yang berkualitas itu manusia yang memiliki harta berlimpah ruah. Koruptor adalah manusia yang paling berkualitas. Beda lagi ketika manusia berkualitas yang kita maksudkan adalah manusia yang memiliki akhlak dan perangai yang baik. Kualitas manusia seperti itu yang luput dari pengamatan kita dan kerap kali kita acuhkan padahal sebenarnya merekalah yang kita butuhkan.
Antara Ambis dan Materialis
Istilah “Anak ambis” sendiri sudah tak asing lagi di sosial media. Ada yang mengartikannya sebagai anak yang rajin, anak yang produktif, dan definisi-definisi lainnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ambisi adalah keinginan yang besar untuk menjadi sesuatu atau melakukan sesuatu. Namun sayangnya, anak ambis terkadang salah dalam berambisi. Ambisi mereka cenderung mengarah pada ambisi mengejar harta, tahta, dan dunia –bukan chef renatta lho ya-. Dari situlah timbul orientasi hidup yang salah. Harta menjadi segala-galanya di mata mereka. Kesalahan orientasi hidup inilah yang kelak akan melahirkan generasi materialis di masa mendatang.
Ambis Itu Boleh!
Menjadi seorang yang memiliki ambisi itu baik. Karena dengan itu kita memiliki tujuan hidup yang ingin kita capai. Namun, ambisi seperti apa yang baik? Apakah ambisi kepada dunia atau ambisi kepada akhirat? Kita seringkali lupa bahwa ambisi terhadap dunia akan mengantarkan kita menjadi seseorang yang materialis. Pribadi materialis yang dibutakan oleh harta benda. Sedang kita tahu bahwa harta benda itu penuh ketidak-pastian. Ujung-ujungnya, dunia tak kunjung didapat dan hidup terasa tak nikmat.
Temen-temen pasti pada tau kan ngejar yang ngga pasti itu rasanya gimana gitu.
Secara tak sadar, menjadi seorang materialis akan mengantarkan kita kepada kerusakan moral. Demi uang, semuanya rela dikorbankan. Asal ada uang dan bisa makan, apapun dilakukan. Termasuk menghalalkan sesuatu yang haram. Siapa yang tak membolehkan ambis? Ambis boleh kok tapi jangan materialis.
Nasehat untuk Pribadi Materialis
Di dalam kitabnya Bidayatul Hidayah, Imam Al Ghazali memberikan nasehat yang patut kita renungkan, “Ketahuilah wahai kamu yang ingin mendapat curahan ilmu, yang betul-betul berharap dan sangat haus pada ilmu. Jika tujuanmu dalam menuntut ilmu adalah untuk bersaing, untuk berbangga-bangga, untuk mengalahkan teman yang lainnya, untuk meraih simpati banyak orang, dan untuk mengumpulkan kekayaan dunia, maka sesungguhnya kamu sedang berjalan untuk menghancurkan agamamu, membinasakan dirimu, dan menjual akhirat dengan duniamu.”
Sebagai seorang muslim, sepatutnya kita senantia merasa haus dari ilmu. Teruslah mengarungi samudera pengetahuan. Sampai kapan? Sampai ke liang lahat. Minal mahdi ilal lahdi. Sehingga tidak ada istilah pensiun dari belajar. Ada satu hal penting yang perlu diperbaiki dalam proses belajar. Niatkan dalam hati kita bahwa ilmu yang kita dapatkan harus menambah ketakwaan kita kepada Allah sang pemilik semesta.
Akhirul kalam, semoga nasehat singkat di atas dapat kita renungkan untuk membenahi orientasi hidup kita. Semoga kita semua dapat terbebas dari belenggu dunia yang kian menjerat kita dari segala arah. Serta dapat terhindar dari fitnah dunia yang fana. Wallahu’alam bis-showaab.
*Penulis adalah santri dan aktivis IPM Ponpes Al-Mujahidin Muhammadiyah Balikpapan
Editor: M. Andhim
Ilustrasi: http://alzonline.net/