
|Oleh: M. Andhim|
Manusia merupakan makhluk sosial. Di mana komunikasi dan interaksi antar sesamanya menjadi kebutuhan yang mendasar. Menjalani sesuatu sendirian akan terasa berat. Tentu akan lebih mudah jika mau melibatkan banyak pihak. Maka tak salah ungkapan pepatah, “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.” Nasehat mulia untuk saling terus bekerja sama.
Jika air di lautan saja bisa pasang juga surut. Demikian halnya hubungan di antara kita. Tidak menetap dan mudah berubah-ubah juga. Seringkali kerenggangan mewarnai hubungan di antara kita bukan? Ahh jujur saja! Wajar kan ya, kita kan manusia yang mustahil luput dari salah dan dosa. Oleh karenanya diperlukan formula untuk menstabilkan hubungan di antara manusia. Dalam hal ini penulis teringat sebuah materi pelajaran sastra arab saat dulu di Ma’had. Kala itu dijelaskan sebuah kisah penyair jahiliyah yang mengajarkan seni bersosial di tengah hidup bermasyarakat.
Dzul Isba’ al-‘Adwani adalah julukannya. Sedang nama aslinya adalah Khursan bin Haris. Mendapat julukan Dzul Isba’ karena ada riwayat yang mengkisahkan salah satu jempol kakinya dipotong sebab dipatuk ular. Ia merupakan seorang penyair arab pra-Islam yang wafat 22 tahun sebelum tahun Hijriyah. Bapaknya Usaid ini populer dengan kefasihan bahasa dan sya’ir-sya’ir bijaknya. Hingga pada suatu ketika menjelang detik-detik wafatnya, ia mewasiatkan nasehat pada Usaid putra yang disayanginya itu.
“Alin jaanibaka liqaumika yuhibbuuka. Wa tawadho’ lahum yarfa’uuka. Wabsuth lahum wajhaka yuti’uuka….”
Artinya, “berlemah lembutlah terhadap masyarakatmu, maka mereka akan mencintaimu. Rendahkanlah hatimu, niscaya mereka akan mengangkatmu. Senyumlah di wajahmu, niscaya mereka akan mematuhimu.”
Dari petikan mutiara di atas ada beberapa pesan yang dapat kita jadikan bahan pembelajaran. Pertama, nasehat ini menyadarkan kita bahwa untuk meraih kasih sayang manusia itu tidaklah mahal. Tidak perlu mengeluarkan banyak biaya. Layaknya Raja-Diraja yang memberikan hadiah emas-permata untuk orang yang disukainya. Atau juga prestasi mentereng yang dipersembahkan si jenius pada orang yang diharapkan cinta darinya. Cukup lembutkan hati, dan marilah kita gunakan hati ini untuk menyentuh saudara-saudara kita. Bukankah sesuatu yang datang dari hati ke hati memang lebih bermakna?
Dosa pertama kali sepanjang sejarah yang disebutkan adalah takabur. Takabur atau sikap sombong ini dijelaskan oleh Rasulullah bahwa ada dua kriterianya. ”Batharul haqqi wa ghamtunnasi.” Artinya, menolak kebenaran dan merendahkan manusia. Aktor pertama kalinya tak lain adalah Iblis, makhluk Allah yang bahkan pernah dipercaya menjadi imam di Surga. Kisah ini ternyata mengajarkan pada kita bahwa untuk memperoleh pengakuan, tidaklah dibutuhkan kesombongan. Kita juga tidak perlu meninggi di hadapan manusia, hanya untuk meraih ridho mereka. Justru konsepnya adalah sebaliknya! Bersikaplah rendah hati, karena kerendahan hati itu sebenarnya tidak merendahkan diri sendiri. Apalagi merendahkan harga diri di antara sesama manusia.
Selanjutnya senyum adalah bagian dari ajaran yang mulia. Ada banyak hikmah di baliknya. Sederhana perwujudannya, namun istimewa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Senyum merupakan lambang kedamaian. Siapa yang melakukannya, tidaklah berlebihan jika dikatakan telah turut menyebarkan perdamaian. Betapa banyak kebencian telah dihilangkan oleh senyum penuh ketulusan. Jika dengan hal sesederhana ini kita mampu meluluhkan hati orang. Patutkah kita marah-marah untuk meraih apa yang kita inginkan?
“Every action has an equal reaction.” Setiap aksi selalu memiliki reaksi yang setara. Siapa yang tak kenal ungkapan ini? Sebuah teori fisika yang sangat familiar di telinga. Yah, itu adalah bunyi penggalan hukum gaya newton tiga. Di dalamnya menerangkan suatu kaedah bahwa setiap gerakan (aksi) selalu memiliki timbal baliknya tersendiri (reaksi). Bahasa gampangnya sih, gak ada sesuatu yang percuma gitu ya. Intinya setiap pergerakan akan memicu terjadinya pergerakan baru.
Sama halnya dengan sunatullah di dalam kehidupan bermasyarakat. Setiap kali kita bertindak, tentu akan memicu tindakan baru sebagai respon dari tindakan yang kita lakukan. Pepatah mengatakan, “Man yazro’ yahshud”. Apa yang kita tanam hari ini, itulah yang akan kita panen esok nanti. Sepenggal kisah penyair jahiliyah di atas, setidaknya memberikan banyak ibrah bagi kita. Bahwa apa yang kita lakukan kepada sesama manusia, itulah yang akan mempengaruhi sikap mereka kepada kita.
Barangkali selama ini ada perlakuan buruk yang dialamatkan pada kita. Entah itu dari keluarga, saudara, teman, guru atau siapapun itu. Tidak ada salahnya jika kita mau bermuhasabah. Perlahan memperbaiki diri dan terus berbenah. Jangan-jangan sikap buruk mereka kepada kita, disebabkan oleh perlakuan kita sendiri yang kurang berkenan di hati mereka. Dan tidak ada salahnya jika kita mencoba resep yang telah diwasiatkan oleh Dzul Isba’ kepada putranya. Karena hakekatnya nilai-nilai yang terkandung darinya sama dengan ajaran agama kita. Anjuran untuk menjadi penyayang, rendah hati dan murah senyum. Mari bersama mencoba!