Oleh: M. Andhim*
Sulit dipungkiri, fitrah kita itu memang suka banding-bandingin orang. Mulai dari urusan makan, pendidikan hingga urusan rumah tangga seolah tak lepas dari topik dunia pergunjingan. Sikap bawaan itu semakin menjadi-jadi, saat situasi pandemi turut mengamini. Dalam pengamatanku, hampir bisa dipastikan di mana ada perkumpulan -kemungkinan besar- di situ ada rasan-rasan. “Enak ya jadi guru saat pandemi. Kerja kagak masuk, tapi bayaran tetap jalan”. Sepenggal celotehan yang keluar dari salah satu mulut seorang insan. Bukan di dunia nyata saja. Di dunia maya pun berjibun jumlahnya. Sebagai pemain garda depan dunia pendidikan, tentu aku tidak meyalahkan. Toh kenyataanya jadi guru saat pandemi ini memang enak banget kog, ini loh buktinya!
Siapa sih di dunia ini yang gak pengen terkenal? Dicariin banyak orang. Gak peduli pagi, siang atau malam diburu oleh banyak wartawan. Coba tengoklah mereka yang duduk di Senayan. Jangan salah! Dulu mereka itu rela melakukan apa saja untuk mendongkrak popularitasnya. Berpakaian sederhana dan makan di pinggir jalanan mereka lakukan. Supaya terkesan merakyat, hingga akhirnya dikenal banyak orang. Segitunya ya?, ya iya dong! Kan terkenal itu mengasyikan.
Yakin, gak jauh beda deh sama keseharian seorang guru, yang mendadak popularitasnya melesat seketika. Gak nyangka, gak terduga. Klunting, Hp menyala tanda pesan masuk dari nomor tak dikenal. Nanya kabar anaknya lah, nanya tugas lah, minta penjelasan kembali materi lah atau sekadar basa-basi tanya sudah ditulis hadir atau belum saat pelajaran tadi. Woiii, yang punya cita-cita jadi aktris terkenal. Yang pengin dicariin banyak orang. Aku saranin mending jadi guru dulu kalian, itung-itung buat latihan sebelum diburu barisan wartawan!
Mimpi apa aku semalam. Jadi pagi itu aku baca berita yang mengguncang jagad maya. Bukan aku yang mimpi apa, tapi pemerintah mimpi apa ya kog tiba-tiba memperhatikan kita. Betapa tidak, selama ini kan kita terbiasa mandiri. Diam-diam harapan saat coblosan pun mulai kami pendam dalam-dalam. Janji-janji tuan dan puan di senayan mulai kami lupakan. Tapi jujur, tidak dengan yang satu ini. Kabar gembira, katanya subsidi paket data akan segera dicairkan. Saking senangnya, tanpa basa-basi langsung kubagikan kepada kawan-kawan yang kukira juga akan ketularan senang. Ternyata benar! Tak butuh waktu lama emoticon senyum, tawa hingga tangis haru segera berdatangan di WA-ku. Benar tak seberapa jumlahnya, tapi tiba-tiba diperhatiin sama orang Istana itu loh yang luar biasa. Eh lupa, selama ini kan kita sering dimuliakan sama mereka. Apalagi barisan guru honorer, jelas sangat dimuliakan oleh Paduka di Singgasana. Ini masih sepersekian dari enaknya seorang guru lho ya.
Pernah gak sih, udah ngomong sampai berbusa-busa. Ladalah! ternyata gak ada yang serius menyimaknya. Ada sih beberapa yang nampaknya antusias di depan kita. Tapi kita kan gak tahu, bisa jadi jiwa mereka melayang ke mana-mana. Gak usah dibayangin, yang jelas menderita banget dah pokoknya! Eitss stop, malah jadi curhat ini nantinya.
Lah mau gimana lagi, memang benar kog nyatanya pandemi membawa keberkahan tersendiri. Ingat betul dulu pas ngajar di kelas, sering menjumpai guru-guru dicuekin sama muridnya. Berbagai strategi diupayakan, untuk cari-cari perhatian. Meski usaha telah sampai pada titik puncaknya, tapi tidak dengan hasilnya. Dicuekin itu bagai makanan pokok kita.
Nah, berbeda pada masa pandemi ini. Bukannya dicuekin, malah banyak yang nyariin buat konsultasi. Gak perlu ribut lagi nyari panggung kan. Orang cukup duduk manis di sofa, banyak khalayak yang nyariin kita. Udah kayak konsultan profesional aja kan ya. 24 jam siap melayani dengan sepenuh hati. Bahkan saking sibuknya, seolah ngelebihin kesibukannya Presiden loh ya. Gimana, enak kan jadi guru itu?
Belum lagi tingkat literasi kita yang berpotensi meroket selama pandemi ini. Gimana gak tambah melek literasi? Orang pembelajaran daring kan serba penugasan. Tugas dulu, tugas lagi, tugas terus semboyannya. Tak heran banyak siswa yang memprotesnya. Aku pribadi kalau jadi siswa, pun juga akan melakukan hal yang sama. Oleh sebab itu, tidak susah-susah amat tugas yang aku berikan pada siswa.
Bukan apa-apa, hanya mencari jalan yang mudah untuk sesama. Lha wong, agama aja menganjurkan untuk cari kemudahan. Masak iya kita –yang mendaku- sebagai umat Islam, gak mau menjalankan. Yassiruu wa laa tuassiruu, permudah dan jangan persusah itu pesannya. Lah apa hubungannya dengan literasi? Jadi begini, dalam penugasan itu acapkali sering aku jumpai jawaban-jawaban yang dikirim siswa dalam bentuk tulis tangan. Bukan sekadar tulisan biasa, tapi goresan tangan yang memiliki seni tingkat tinggi. Saking estetiknya, sampai-sampai kaligrafinya mas Dery Sulaiman loh gak ada apa-apanya. Alih-alih lebih mirip manuskrip-nya Ulama abad 15-an. Yang jelas, butuh pemahaman tingkat tinggi untuk menela’ahnya. Keren kan!
Benar kata sebagian orang bahwa jadi guru itu memang enak. Apalagi di masa pandemi ini. Jelas enaknya, udah kayak sarimi isi dua aja kan ya. Udah gaji tetap mengalir, yang –kata mereka- meski gak masuk kerja. Pakai banyak bonus lagi. Duh simbok! Kita juga bisa terkenal. Banyak yang ingin mendengar. Sampai level literasi kita pun meningkat sedemikian rupa. Saudara saksikanlah, ini baru secuil keenakan yang guru dapatkan loh ya. Artinya masih banyak lagi keenakan yang belum tersampaikan dalam curhatan ini. Seenggaknya bagi mereka yang menganggap bahwa guru adalah pihak yang paling “dienakkan” saat pandemi ini, semoga keyakinannya semakin kokoh tak terbantahkan. Salam damai sentosa.~
*Penulis adalah pemain garda depan dunia pendidikan.
Ilustrasi: https://www.roikansoekartun.com/2012/05/pak-raden-dan-game-tribute-to-pak-raden.html