(Oleh: M. Andhim)

Akhir-akhir ini kata jihad menjadi topik yang cukup hangat untuk diperbincangkan. Hal ini dipicu dari beberapa peristiwa yang terjadi belakangan. Mulai dari penggerebekan terduga teroris oleh pihak berwenang, pengeboman lingkungan rumah ibadah, hingga yang terbaru penyerangan markas kepolisian.

Masifnya informasi dari berbagai media menyebabkan isu yang hangat cepat berkembang. Apa yang kita dapati ini merupakan buah dari kemajuan teknologi yang memang tidak bisa dielakkan. Akhirnya tak ada lagi filter yang membantu masyarakat untuk mendapatkan informasi yang sehat dan akurat. Berbagai media hanya berlomba-lomba menjadikan berita sebagai konten pengisi acara salurannya. Akibatnya tak sedikit masyarakat yang justru bingung menghadapi berbagai narasi yang beredar.

Umumnya pihak-pihak yang menebarkan narasi terbelah menjadi beberapa bagian. Tentu di dalam bernarasi, mereka menggunakan berbagai macam sudut pandang. Latar belakang pendidikan, pekerjaan, pergaulan, dan berbagai macam hal lainnya. Taklupa satu hal yang cukup kuat mempengaruhi alam pikiran mereka adalah Ideologi.  Ideologi inilah yang kelak menjadi “world view” dalam memandang segala persoalan. Termasuk pandangan mereka terhadap aktivitas jihad itu sendiri.

Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa dalam hal ini umat tidak satu persepsi. Oleh karenanya penulis akan sedikit mengulas pandangan dua kelompok saja, yang penulis anggap cukup ekstrem di dalam memandang syariat jihad. Kelompok pertama memandang bahwa jihad merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap orang beriman. Sayangnya kelompok ini memahami ayat secara parsial. Sehingga anggapan mereka jihad hanya terbatas pada perkara perang. Syahid selalu menjadi cita-cita yang mereka gembar-gemborkan.  Semangat membara mereka terkadang menutup mata dari realita yang ada. Sehingga etika-etika dan rambu-rambu syariat jihad justru mereka langgar.

Adapun kelompok ekstrem yang kedua selalu menempatkan diri berseberangan dengan kelompok pertama. Jika kelompok pertama bersikukuh menganggap jihad adalah satu-satunya upaya menegakkan agama Islam. Kebalikan dari mereka, kelompok kedua ini justru malah menjadikan jihad sebagai upaya menyerang Islam. Stereotip yang diberikan Amerika bahwa Islam adalah agama teroris menjadi dalih mereka. Apalagi didukung oleh beberapa peristiwa yang memang dilakukan oleh beberapa oknum yang beragama Islam. Saya katakan oknum, karena memang ajaran Islam yang saya yakini tidak sama sekali mengajarkan terorisme. Sehingga tidak benar jika dikatakan “DNA terorisme adalah dari Islam”. Oleh karenanya penulis memandang penting untuk sedikit mengulas pembahasan terkait tema jihad ini. Sehingga harapan kedepannya, kita semua tidak terjebak pada dua kutub ekstrem yang sama-sama salah dalam menafsirkan makna jihad.

Allahu akbar! Hayya ‘alal jihad, hayya ‘alal jihad.

Allah maha besar! Mari dirikan jihad, mari dirikan jihad.

Dengan suara lantang nampak seseorang mengumandangkan seruan jihad. Ia tak sendirian. Di belakangnya nampak beberapa jama’ah yang merapatkan barisan dengan tangan mengepal. Sesekali mengangkat kepalan tangannya ke atas, dan menyerukan kalimah takbir secara serempak. Allahu akbar! Peristiwa ini sempat viral beberapa bulan belakangan. Pro-kontra jelas turut mewarnai. Tidak sedikit pula ulama’ dari berbagai elemen yang turut menasehati. Bahwa adzan bukanlah hal yang dapat dijadikan mainan. Merubah teksnya sekehendak hati tidak dibenarkan. Begitupun dengan jihad (dalam artian perang), bukanlah perkara remeh temeh yang dapat ditafsirkan secara serampangan. Itulah sebabnya para ulama’ bahkan mengarang kitab khusus untuk membahas fiqh jihad.

Jika ada  pihak yang berdalih dengan al-Qur’an bahwa jihad adalah memerangi kaum kafir,  hal ini memang dapat dibenarkan. Tapi kemudian mengeneralisir bahwa jihad hanyalah perang, inilah yang tidak dibenarkan. Perlu diketahui bahwa setiap teks tidak pernah lepas dari konteks. Demikian halnya dengan ketentuan jihad yang berarti perang, tentu juga memiliki konteksnya tersendiri.

Secara historis kaum muslimin memang pernah beberapa kali melakukan peperangan. Yang mana peperangan mereka sebenarnya bukanlah melawan kaum kafir secara umum. Adapun kafir yang boleh diperangi adalah mereka dari golongan kafir harbi, yakni kaum kafir yang memerangi kaum muslimin. Oleh karenanya jihad yang berarti perang di sini, konteksnya adalah bertahan (defensif) dan bukannya menyerang (ofensif).

Menurut pengamatan penulis, setidaknya ada dua kesalahan fatal yang dilakukan oleh kelompok teroris yang mengatasnamakan Islam dalam tindakannya. Pertama, salah konteks dalam mengambil tindakan. Sebagaimana yang kita rasakan saat ini, bahwa kita hidup dalam negara yang aman. Tidak ada aktivitas fisik (dalam artian peperangan) yang dilakukan oleh kelompok non-Islam. Sehingga kita tidak perlu melakukan perlawanan fisik dalam rangka membela agama dan diri kita. Adapun kesalahan kedua terletak pada anggapan mereka terhadap saudara sebangsa kita yang berbeda agama. Tidak tepat dipukul sama rata bahwa mereka yang berbeda agama dihukumi sebagai kafir harbi yang boleh diperangi sesuka hati.

Saudaraku yang budiman. Jihad itu luas cakupannya. Bukan sebatas perang saja. Selain bermakna perang, Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fathu al-Bari menjelaskan secara luas cakupan jihad. Seperti misalnya melawan nafsu diri, menahan diri dari godaan syaithon, atau juga berjihad menghadapi orang-orang fasik. Ketiganya tentu juga membutuhkan harta, pikiran dan  tenaga. Tapi perlu diingat, bahwa untuk menunaikan jihadnya tidak perlu mengangkat senjata loh ya.

Ada juga seorang ulama sekaliber Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, dalam kitabnya Majmu’ Fatawa  yang mendefiniskan jihad adalah mencurahkan segala kemampuan dalam rangka menggapai apa yang dicintai oleh Allah SWT dan menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya. Terkadang kita terlalu mudah  disilaukan oleh ayat-ayat jihad yang berkaitan perang. Hingga terlupakan ayat jihad yang berkaitan dengan perdamaian. Tahukah kita bahwa menebar perdamaian juga merupakan bagian dari jihad loh yaa..

Di dalam tafsir al-Wajiz misalnya disebutkan bahwa surat al-Anfal ayat 61 dapat dijadikan sandaran bahwa kaum muslimin harus menjadi pelopor dalam perdamaian. Bahkan ketika perang itu terjadi dan musuh-musuh Islam meminta untuk gencatan senjata. Di sini kaum muslimin dilarang untuk memeranginya. Apalagi dalam suasana yang aman nan tenteram seperti di negara kita tercinta. Ya  jelas, jihad tetap menjadi sebuah kewajiban bagi kita. Bukan jihad dalam artian perang, bukan pula menebar benih-benih kebencian. Melainkan jihad menebar kasih sayang dan perdamaian. Hayya ‘alal jihad!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here