Oleh: Andi Rezti Maharani*

 

”Eh, ba’daki nah!” “Yang sudah jangan pelit, bagi-bagi dulu” “Eh, nomor 3 apa?”

Pernah gak sih? Dengar kalimat semacam itu keluar dari mulut teman sekelasmu atau bahkan kamu sendiri pernah berkata seperti itu? Well, kalau kamu yang berkata demikian. Mungkin ini pas untukmu yang suka minta contekan saat ujian. Jika merasa marah atau tertampar dengan tulisan ini. Ayo baca sampai tuntas! Dijamin kamu akan merasa lebih tertampar lagi.

Untukmu yang hobi mengatasnamakan “solidaritas” dalam perilaku seperti ini. Mempengaruhi teman-teman dengan berkata bahwa ini adalah perilaku yang baik-baik saja. Si pemberi contekan pun merasa tidak terbebani sama sekali, tatkala kamu meminta contekan pada dirinya. Dengan nada diplomatis kau katakan  bahwa dirimu akan mempelajari contekan itu setelah selesai menjiplaknya. But in reality, itu hanya omong kosong! Aku paham bahwa kamu bukan tipe manusia yang ingin segala sesuatu menjadi ribet nan ruwet. Semuanya ingin dikerjakan secara simpel dan instan. Tanpa berpikir panjang dampak ke depannya jika kamu melakukan hal semacam ini secara terus menerus.

Aku tak akan membicarakan dia si pemberi contekan yang tak masalah dengan perilakumu. Hematku dia memberi contekan Cuma-cuma kepadamu bukanlah tanda dia adalah orang yang kamu pikir baik. Kalau kamu berpikir seperti itu, kurasa kamu salah besar kawan! Sejatinya secara tak sadar dia yang biasa memberi contekan akan maju sendirian. Bahasanya seperti ini, “yang maju semakin maju, yang mundur semakin mundur”. Sedang kamu akan menjadi orang yang memiliki ketergantungan. Wah, nampaknya telah terjadi kesenjangan pendidikan karena masalah ini ya? 😀

Aku membicarakan dia si pemberi contekan yang terpaksa untukmu. Dirinya akan merasa terbully ketika kamu dan teman-temanmu menyindirnya karena dia tak mau memberi contekannya. Kamu pun terus melontarkan kata-kata yang perih di hatinya. Membuatnya merasa terbebani dengan apa yang kamu lakukan. Tahukah kamu betapa susah payahnya ia mengerjakan soal itu sampai larut malam. Tak dinyana keesokan harinya dengan berat hati dia menyerahkan contekan itu kepadamu. Betapa senangnya ia saat dirimu bertanya tentang materi yang belum kau pahami. Saat itu hati kecilnya berharap pesan yang masuk berisi: “Sobat, ajari aku mengerjakan ini ya (dengan emoticon senyum lebar-penuh harap)”. Bagai mengharap hujan di musim kemarau, it’s imposible!  Bukan hujan yang datang, eh sebaliknya. Betapa sedihnya ia  saat dirimu hadir untuk menyontek hasil jerih payahnya,  alih-alih merampas hasil kerja kerasnya. Lupakah kamu terhadap dirimu, di saat orang lain begitu mempedulikan masa depanmu.

Kenapa kamu suka meraih sesuatu dengan menginjak orang lain? Apa kamu bahagia dengan pencapaianmu itu? Apa kamu puas mendengar nilai 100 yang sejatinya berasal dari contekan? Apa kamu pikir nilai itu membawa berkah untuk masa depanmu?

Nilai hanyalah sekedar nilai. Tak lebih dari segores tinta yang ditulis di atas kertas. Masih banyak jalan yang lain untuk meraih nilai bagus nan tinggi. Namun tak dapat dipungkiri cara kotor seperti ini agaknya lumrah terjadi di lingkungan kita. Atau bahkan sudah mendarah daging di tubuh kita. Hingga mengalir deras dalam darah kita.

Baiklah, untuk tugas sekolah barangkali dapat dimaafkan (eitsss, tapi bukan berarti aku membolehkan hal itu terjadi). Untuk tugas sekolah, aku menyarankan kamu bukan hanya menyalin saja. Ajaklah dia juga untuk berdiskusi tentang apa yang belum kamu pahami. Sehingga kamu pun mendapatkan manfaat dan pengetahuan dari diskusi semacam ini.

Bagaimana ketika menyontek pada saat ujian berlangsung?

Sudah lelah rasanya melihat banyaknya usaha guru agar dirimu tak kembali mengulang kebiasan buruk itu. Mulai dari diberi wejangan sebelum ujian.  Menyalin kalimat “Saya berjanji tidak akan menyontek”.  Sampai-sampai membawa firman Allah dengan tujuan agar kamu tak berani menyontek. Lagi dan lagi, “setan apa yang merasukimu?”  hingga tak tersisa lagi rasa pedulimu. Kurasa kamu berbakat sekali menjadi seorang intel. Betapa lincahnya dirimu memanipulasi kelas agar usaha menyontekmu tak diketahui para guru. Malam sebelum ujian, teman-temanmu sibuk menyiapkan bahan materi untuk dipelajari. Sedang kamu malah menyusun rencana agar bisa menyontek dengan pas dan tanpa ketahuan. Mulai dari menyiapkan perlengkapan tempat persembunyian kertas hingga memilih tempat duduk yang strategis. Segalanya kamu siapkan dengan matang dan terorganisir. Luar biasanya lagi, ketika pandemi ini. Dengan bantuan mbah google, dirimu dan teman-temanmu yang saling terkoneksi satu sama lain. Nampak riang dan gembiranya kalian kala itu.

Kawan, kebahagiaan ini hanyalah sementara. Kalian akan menyesal ketika nilai yang kalian bangga-banggakan itu ternyata tak memberi manfaat apa-apa untukmu. Justru mungkin akan menghancurkanmu suatu saat nanti. Ingat! sesuatu yang dimulai dari kebohongan, endingnya tak akan baik. Sama halnya seperti hubungan yang dimulai dari kebohongan, takkan pernah sampai ending baik yang kita harapkan. Bisa jadi kita hanya akan mendapatkan sad ending.

Barang tentu tiada yang mengharapkan hidup berakhir menyedihkan, bukan? Maka mulailah untuk berbuat jujur dari hal sekecil ini. Kita akan terbiasa untuk melakukan kejujuran sehingga kita bisa mendapatkan happy ending dari perjalanan hidup ini. Yakinlah bahwa dengan menempuh cara yang benar. Saat tiba waktunya, kita pun akan merasakan manisnya hasil perjuangan. Tetes demi tetes keringat kita kala itu akan terbayarkan. Teruslah berjuang dan berdo’a. Libatkan Allah dalam setiap urusan kita. Sekali lagi, jika kita sudah memperjuangkannya. Serahkan semuanya kepada Allah. Apapun hasilnya itulah yang terbaik untukmu, lagi halal bagimu.

Owh iya, pas banget kan ya. InsyaaAllah, Akhir tahun ini kita akan dipertemukan sama ujian semesteran. Kuharap kalian (yang hobi contekan) tak mengulangi lagi hal yang sama.  Mari buang jauh-jauh semboyan “Nilai bagus tujuanku, menyontek jalan ninjaku”. kemari aku bisikkan sesuatu “Semangat yaaa, ada doa orangtua yang harus kita usahakan. Ada air mata dan keringat yang harus kita perjuangkan. Yakinlah Kita pasti bisa!”

*Penulis adalah santriwati pondok pesantren Mujahidin Balikpapan

Editor: MA

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here