EsaiFeaturedJogjakartaOpini

Semua Wali Murid Bisa Menjadi Guru

Oleh: Muhamad Hafidh As shafa

Kader IMM FAI Universitas Ahmad Dahlan 

Pagi belum genap membuka tirai mentari saat Sri Wahyuni (38) memanggil anak-anak di lorong kecil Kampung Karanglo, Yogyakarta. Di tangan kirinya, ia membawa buku-buku cerita dan satu papan tulis kecil yang sudah lama bersahabat dengan debu. Di depan rumah kontrakan mungil itu, ia memulai hari seperti seorang guru—meski ia bukan lulusan sekolah pendidikan.

“Ayo, siapa yang bisa menyebutkan lima sila Pancasila?” tanyanya, sambil tersenyum. Anak-anak serempak mengacungkan tangan, wajah mereka berseri seperti fajar yang baru menyingsing.

Sri adalah ibu rumah tangga biasa, tetapi sejak pandemi tiga tahun silam, ia menjelma menjadi guru dadakan bagi anak-anak di lingkungannya. Awalnya hanya membantu putrinya mengerjakan tugas daring. Namun lama-lama, tetangga menitipkan anak-anak mereka juga. Tanpa digaji, tanpa seragam, ia mengajar dari hati.

“Aku jadi ingat pepatah Arab,” katanya pelan, “Ibu adalah madrasah pertama. Kalau ia mempersiapkannya dengan baik, maka lahirlah generasi yang hebat.” Matanya berkaca.

Semangat seperti itu tidak hanya milik Sri. Di pelosok Indonesia, semakin banyak wali murid yang mengambil peran sebagai pendidik, menyadari bahwa pembelajaran tak hanya milik ruang kelas.

Di Desa Penarukan, Bali, misalnya, I Made Wirata (44) yang bekerja sebagai petani memutuskan mengajari anak-anak tetangganya membaca dan menulis seusai panen. Ia tidak pernah duduk di bangku kuliah, tapi tekadnya untuk mencerdaskan kampungnya tidak kalah dari seorang sarjana pendidikan.

“Saya hanya tahu satu hal,” ujarnya sambil menunjuk sawah yang baru dipanen, “kalau anak-anak ini tidak bisa membaca, siapa yang akan menanam masa depan?”

Fenomena ini menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah. Wali murid—ibu, ayah, paman, bibi—mereka semua bisa menjadi guru dengan caranya masing-masing. Tak perlu ijazah untuk mengajar kejujuran, kesabaran, atau cinta membaca. Yang dibutuhkan adalah niat, waktu, dan kasih sayang.

Menurut data Kementerian Pendidikan, lebih dari 60 persen siswa Indonesia mengalami keterbatasan akses pembelajaran selama masa darurat pendidikan. Namun, di balik data itu, tumbuh gerakan sunyi dari para wali murid yang diam-diam menjelma menjadi pilar pendidikan alternatif. Mereka bukan hanya menemani, tetapi juga menanamkan nilai-nilai hidup yang kerap terlewatkan di kurikulum.

Pendidikan, dalam konteks ini, bukan sekadar ilmu kognitif. Ia adalah praktik keseharian, keteladanan, dan sapaan lembut seorang ibu saat anaknya gagal mengeja. Ia adalah tawa seorang ayah ketika anaknya mencoba berhitung dengan biji jagung.

Sebab, dalam diri setiap wali murid tersembunyi potensi guru. Dan dalam setiap rumah, tersimpan ruang belajar yang tak kalah penting dari ruang kelas.

Seperti kata pepatah, “Ibu adalah madrasah pertama, dan bapak adalah kepala lembaganya.” Maka, rumah adalah sekolah, dan setiap orang tua dengan kasih dan teladan adalah guru sejati yang pertama dan abadi.

Ed : ARM

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button