KABARMUH.ID, Jakarta – Persoalan yang dihadapi umat Islam semakin kompleks seiring dengan perubahan sosial dan zaman, sehingga membutuhkan jawaban dan solusi. Ijtihad jadi jalan untuk menemukan jawaban dan solusi tersebut.
Lazismu sebagai amil zakat nasional memandang persoalan zakat tidak berhenti pada zakat fitrah, tapi juga zakat mal. Dimana jenis zakat ini bertalian dengan dengan hubungan timbal balik antara muzaki dan mustahik.
Mustahik sebagai penerima (asnaf) juga membutuhkan kajian yang lebih lanjut untuk bisa memposisikan asnaf yang tepat sesuai dengan perubahan sosial dan spirit zaman.
Membahas hal itu, Lazismu menggelar kajian (Ziska Talk) mengupas seputar Fatwa Tarjih dan Fatwa MUI tentang isu-isu zakat kontemporer pada Jumat (28/6/24). Acara ini menghadirkan Erni Juliana Hasanah Nasution selaku Bendahara MUI sekaligus Dosen ITB Ahmad Dahlan, Izza Rohman selaku Dewan Pengawas Syariah (DPS) Lazismu Pusat, dan dipandu oleh Hafizh Syafaaturrahman selaku Direktur Kelembagaan dan SDA Lazismu Pusat.
Ibnu Tsani, Direktur Utama Lazismu dalam pengantarnya mengatakan salah satu tugas yang melekat pada Dewan Pengawas Syariah Lazismu adalah membuat opini syariah. Adapun yang membuat fatwah itu di bawah majelis tarjih.
Dalam hal fatwa, Munas tarjih menjadi putusan tertinggi di Muhammadiyah. Kendati demikian, sambungnya, berdasarkan audit yang dilakukan Lazismu, belum ditemukan adanya perbedaan antara MUI dan DPS.
“Dalam aspek undang-undang zakat, yang dijadikan rujukan dalam audit syariah fatwa yang dikeluarkan oleh MUI juga menjadi bagian penting dalam proses putusan fatwa tarjih,” jelas Ibnu Tsani.
Senada dengan Direktur Utama Lazismu, Erni Juliana menyampaikan sudah banyak fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tentang zakat. Terhitung dari tahun 1982-2024 meliputi dimensi ibadah dan sosial. Kini dengan luasnya dimensi sosial zakat, menimbulkan ragam kajian dan persoalan yang memerlukan jawaban.
“Karena itu perlu interpretasi dalam aktivitas ijtihad yang kontekstual sesuai dengan kebutuhan zaman,” sebutnya.
Menurut Erni Juliana, ijtihad adalah solusi yang harus dilakukan karena kebutuhan yang tiada henti. Fatwa sebagai salah satu manifestasi dari produk ijtihad merupakan respons atas suatu masalah atau pertanyaan masyarakat maupun nasihat resmi yang dikeluarkan oleh lembaga tertentu berdasarkan kajian ilmiah.
“Fatwa secara resmi memberikan arah pedoman terhadap yang boleh, haram, sunah, dan apa saja yan membutuhkan kesimpulan hukum. Itu tidak mudah. Perlu argumentasi yang kuat dan kajian mendasar atas suatu persoalan,” imbuhnya.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa MUI mengeluarkan fatwa tentang zakat sebanyak 167 pada tahun 1926, Muhammadiyah 94 pada tahun 1950, dan NU sebanyak 46 fatwa. Lalu MUI mengeluarkan 27 fatwa pada tahun 1982.
Ia mengatakan, Muhammadiyah paling banyak menghasilkan fatwa, yakni 94 fatwa. Majelis Ulama Indonesia masih di angka 27 fatwa tentang zakat.
Selain zakat yang berkaitan dengan isu kontemporer seperti zakat penghasilan, zakat perusahaan, dan zakat saham, MUI juga mengkaji soal zakat barang yang digadaikan.
“Termasuk zakat profesi kekinian, youtuber, selebgram, dan pelaku eknomi kreatif digital lainnya yang perlu mendapat perhatian dari fatwa seputar zakat,” ujarnya.
Erni Juliana menjelaskan bahwa MUI merupakan sumber rujukan negara dalam membuat regulasi mengenai pengelolaan zakat yang selanjutnya diatur oleh Kementerian Agama Republik Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama, Izza Rohman Dewan Pengawas Syariah Lazismu mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang tidak memilih jalan mazhab.
Kendati demikian, Muhammadiyah tetap mempertimbangkan dan mengapresiasi mazhab yang ada. Muhammadiyah kembali Alquran dan sunnah dengan manhaj yang kompleks dan berkemajuan dengan tiga epistemologi, bayani, burhani, dan irfani.
Ia menjelaskan, ketiga epistemology tersebut terus digunakan secara dinamis dan diupayakan agar tidak ada yang terabaikan dalam menghasilkan pandangan-pandangan keagamaan.
“Produk ketarjihan dibangun diatas asumsi bahwa setiap hukum dilandasi oleh al-qiyam al asasiyah, al-ushul al-kulliyah, dan al-ahkam al-far’iyyah,” sebut Izza.
“Yang kedua dan terakhir dipayungi oleh yang asas dan yang kedua memayungi hukum-hukum yang bercabang dalam kajian fikih Islam,” lanjutnya.
Izza menyebutkan, bahwa Muhammadiyah merumuskan pandangan keagamaan tidak secara instans, tapi hati-hati dan bertanggungjawab secara kolektif. Muhammadiyah mengapreasi pandangan dari luar, apalagi dalam kehidupan keagamaan yang berhubungan dengan produk hukum negara.
Dirinya mengatakan, perlu membedakan antara putusan tarjih, fatwa, dan wacana tarjih. Semua itu melibatkan unsur partisipasi, mekanisme, sistematika, dan daya ikat.
Dalam putusan tarjih, ada banyak partisipasi yang perlu dilibatkan. “Bahkan untuk menghasilkan keputusan itu Muhammadiyah perlu melibatkan pihak-pihak ulama yang kompeten dari luar untuk menjadi bahan masukan, saran, dan pertimbangan. Prosesnya lebih sistematis, mendalam dan analitik sehingga memantik kajian yang lebih dalam,” imbuhnya.
Sedangkan dalam fatwa, lanjut Izza Rohman, melibatkan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Memerlukan waktu yang cukup panjang, karena melalui kajian, diskusi, seminar, dan khalaqoh yang nantinya akan dibawa ke Munas Tarjih.
Adapun wacana tarjih, sebutnya, adalah kajian yang melibatkan banyak pihak yang kemudian dikompilasi dalam jurnal tarjih. Direview dan dikaji secara akademis.
Sebab itu, dalam hal pengelolaan zakat dan asnaf Lazismu selalu berpijak pada putusan tarjih dan fatwa tarjih. “Adapun yang sifatnya penting, dapat berkonsultasi dengan dewan pengawas syariah untuk mendapatkan opini syariah,” pungkasnya.
Di akhir penyampaian, Izza Rohman menyinggung pentingnya ilmu dan kearifan lokal sebagai pijakan Lembaga Amil Zakat (LAZ) dalam pengelolaan dan pendistribusian zakat.
“Ilmu menjadi penting sebagai basis pengetahuan, berapa yang terkumpul dan berapa yang dibagikan. Sedangkan kearifan lokal menjadi etika dan prinsip dalam pendistribusian berdasarkan keputusan yang ditentukan,” tandasnya.