Oleh : Muhammad Lutfi
Sebuah karya sastra menjadi cerminan bagi penulis maupun bagi pembaca. Sejak jaman dahulu sastra telah mewarnai kehidupan. Menjadi landasan manusia berpijak, menentukan benar dan salah, melakukan perbuatan terpuji. Karya sastra menjadi katarsis dan intervensi manusia untuk melakukan pengukuran sejauh mana tindak sosial manusia dapat berkembang. Cultur distance ini mennetukan perwatakan tokoh manusia dalam pedalangan kehidupan.
Manusia adalah penentu dari setiap perkataannya, perbuatannya menjadi argumen keyakinan yang harus dilaksanakan kewajibannya. Kewajiban itu sendiri sudah jauh mengasing, dari kehidupan yang gundah gulana. Ada sedih-duka, jaya-sengsara, kaya-miskin, susah-senang. Karena manusia adalah tolak ukur segala sesuatu. Seperti yang dikatakan oleh Protagoras “manusia adalah ukuran segala sesuatu”. Menjadi culture kepribadian rakyat yang manunggaling kawula.
Manunggaling kawula sendiri mencerna segala perkataan yang rumit menjadi pendakuan. Aku adalah dia, dia adalah aku. Tentu sulit menentukan aku itu siapa-siapa pula dia itu. Aku tentu dia yang sengsara, aku tentu dia yang melarat, aku juga bisa aku yang jaya, aku bisa pula dia yang senang. Bahagia dan sedih, sudah jadi macam tontonan bagi siapa yang menulis sastra. Watch demokratos, olahan sikap dan makna dalam mengarungi kehidupan.
Budaya manunggaling kawula ini adalah persatuan manusia. Menjauh dari kehidupan, mencari penghasilan, kumpul kepada suatu komunitas. Ketika Siti Jenar dicari oleh seorang tamu, tamu itu ternyata petinggi dari Demak. Kalijaga berkata “Syeh Siti Jenar dicari paduka sultan untuk menghadap”. Jawab dari Siti Jenar justru menghenyak begitu kuat, “Siti Jenar tidak ada, yang ada hanya Allah”. Bagi penganut teolog, keesaan Tuhan adalah mutlak, karena segala perilaku manusia dan apa yang diucapkannya adalah tindakan dari Tuhan.
Tuhan menciptakan dunia sebagai sebuah miniatur permainannya, untuk melukis alam semesta. Mengisi kehidupan yang Dia ciptakan. Manusia harus bekerja mencari nafkah, menjalankan perintah dan larangannya. Miniatur Tuhan penuh segala rahasia apa yang tidak diketahui oleh nalar. Nalar mengatur jalan cerita, menuliskannya kembali menjadi suatu karya sastra, lalu dibaca kembali sebagai wujud pengetahuan yang telah bersemi.
Seperti yang pernah Nietzche katakan, “Tuhan telah mati”. Benarkah itu? Apakah wujud pencipta yang disembah itu telah mati, ataukah wujud dari kesengsaraan Nietzche itu sendiri. Nietzche adalah seorang ortodoks yang telah keluar dari agamanya, karena kekecewaannya pada hegemoni pendeta yang mendominasi gereja dan masyarakat. Bahkan seolah kasta pendeta wujud tertinggi dari raja.
Di atas segala itu, hukum harus dijunjung tinggi menuju keadilan. Dalam Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia, Rendra berkata “bahwa hukum harus lebih tinggi dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara”. Hukum adalah daulat adil dalam kehidupan bernegara. Tanpa suatu hukum adil, masyarakat akan saling menjarah, membunuh, memperkosa, bertindak menjadi serigala bagi sesama manusia.
Hukum juga kajian bagi suatu karya sastra, karena itu hukum harus diwujudkan dalam pembacaan karya sastra, benar-salah, bijak-picik. Dalam kisah 1001 Malam, Abu Nawas adalah anak penegak hukum yang mengingkari penobatannya menjadi wazir. Dia ingin hidup bebas, berpuisi, mengandaikan kemakmuran, kesejahteraan, keindahan. Dia berjalan dengan mengucapkan syair yang mengalun di benak telinga pedagang-pedagang pasar. Bahkan, syair Abu Nawas menjadi pertobatan bagi kaum pezina dan bromocorah.
Sastra adalah miniatur yang tak lepas dari suatu kehendak dan kemauan untuk bertindak. Membaca suatu keadaan jaman yang semakin fana. Lenggang ke dunia malam, ke dunia premanisme, dan masuk ke dalam kampus-kampus. Mengisi relung-relung pengetahuan yang dipelajari oleh anak-anak manusia. Bahkan berjuta-juta tahun yang lampau, sastra adalah miniatur untuk pedoman akan hukum-hukum dan bencana serta segala penyebabnya.
Pada jaman Bung Karno, para seniman turut berjuang melawan nekolim. Dengan segala semangat yang masih membara semangat perjuangan melawan penjajah, seniman turut mencipta sastra untuk melawan dunia kaum penjajah yang menyengsarakan rakyat Indonesia. Penjajahan yang membawa dunia kolonialisme itu ke tanah pribumi, menyertakan penderitaan berpuluh tahun yang sangat panjang. Menyengsarakan ibu-ibu yang baru memiliki anak, menyengsarakan pemuda-pemuda yang baru belajar mengenal hapalan huruf dan belajar mengeja.
Marah Rusli dalam prosa yang panjang, Salah Asuhan, tentang Datuk Maringgih dan Siti Nurbaya mendeklamasikan kebebasan adat yang patriarki yang harus segera dibebaskan. Siti Nurbaya seorang jelita, dipersunting tuan tanah, Datuk Maringgih. Kekasih Siti Nurbaya yang kecewa dengan keputusan Siti Nurbaya, memilih memihak menjadi tentara KNIL. Berharap suatu nanti dapat menghabisi nyawa Datuk Maringgih. Kaum pecinta nafsu dan selangkangan hanya memikirkan bahwa cerita itu tentang cinta yang tak sampai. Tetapi ternyata itu salah, cerita itu menggambarkan bahwa Datuk Maringgih adalah tuan tanah yang baik, menyokong perjuangan rakyatnya untuk melawan penjajah. Bahkan berjuang sampai mati melawan penjajahan.
Seorang tua bahkan tidak kenal umurnya dalam berjuang. Bagi penganut ideologi, seperti Leo Toltsky, prosa-prosanya telah mewarnai dunia komunisme di Uni Soviet. Dia telah membuka jendela baru bagi Uni Soviet untuk mengenal sastra dan keindahannya. Seperti pula Leo Toltsky, Rimbaud seorang yahudi yang harus merasakan ujung maut selalu berlari dan bersemangat dalam kehidupan untuk terus hidup. Dalam pengembaraannya, dia sempat singgah di Indonesia, tepatnya di Aceh. Dia pengembara yang juga seorang penulis sastra, yaitu puisi.
Karena itu, sastra adalah bukti adanya manusia. Manusia adalah anak jaman yang terbengkalai jika tidak dicatat. Kehidupan sendiri adalah miniatur yang diciptakan Tuhan dan miniatur yang dipelajari dalam karya sastra, sebab kita selalu ingin membaca kalimat-kalimat. Maka sastra menemukan wujud hasil dirinya tercipta untuk dibaca manusia sebagai anak jaman.